Mengembalikan Khitoh Marwah Mahkamah Konstitusi Pasca-Putusan MKMK

Opini, Jurnalis
Selasa 21 November 2023 18:06 WIB
Gedung MK. (Foto: Dok Okezone.com)
Share :

SETELAH Oknum Hakim MK diberhentikan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan MKMK, karena melakukan pelanggaran berat, maka hal ini sebenarnya menjadi bukti bahwa proses lahirnya Putusan MK No. 90 terkait syarat menjadi Capres/Cawapres sebagaimana judicial review Pasal 169q atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai putusan yang cacat hukum karena dihasilkan dari putusan Majelis Permusyawaratan Hakim Mahkamah Konstitusi yang melanggar etik secara kumulatif dari sembilan hakim dan melanggar berat secara etik oleh Oknum Mantan Ketua MK. Namun demikian oleh karena sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan bainding (final dan mengikat), maka hal itu tidak mempengaruhi amar putusan MK No. 90, tersebut.

Sebagaimana pertimbangan putusan MKMK juga menyebutkan dalam mengambil keputusan, para hakim MK menerapkan norma ewuh pakewuh dalam mengambil keputusan, secara hukum hal itu tidak diperbolehkan. Sebagaimana ketentuan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta sesuai dengan tujuan hukum, hakim dalam mengambil keputusan harus memperhatikan tiga aspek yaitu aspek kepastian hukum, aspek keadilan hukum dan aspek kemanfaatan hukum.

Apa yang dilakukan oleh hakim MK terkait putusan MK no. 90, tidak mencerminkan hal tersebut. Bahkan hakim yang mestinya dalam setiap keputusannya tidak hanya bertanggungjawab kepada Masyarakat, tetapi dalam setiap putusannya harus bertanggungjawab kepada Tuhan YME, sesuai irah-irah putusan: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan YME.” Inilah yang harusnya dilakukan oleh hakim MK dalam memutuskan perkara No. 90, yang ternyata ada kepentingan diluar kepentingan bangsa dan negara, yang seharusnya juga hakim bersifat independent.

Ketika MKMK menyalahkan 9 hakim konstitusi melakukan ewuh pakewuh, ternyata dalam putusannya MKMK juga dalam memberikan putusannya dilakukan sambil tersenyum, mestinya hal ini tidak boleh terjadi, mengingat hal ini sebuah lembaga pengawal konstitusi yang mestinya hal itu juga harus dijaga oleh MK, baik oleh hakim MK melalui putusannya sesuai kewenangan yang dimiliki, tetapi juga oleh MKMK yang menegakkan kode etik para hakim MK.

Dengan diberikannya sanksi karena melakukan pelanggaran berat, tidak secara mutatis muntandis pelaksanaan Pilpres mendatang bisa dikatakan cacat secara hukum, namun secara etika hal itu sangat mempengaruhi kehidupan demokrasi karena persyaratan peserta dirubah normanya oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang melakukan pelanggaran Etik.

Sebenarnya terkait larangan praktek penyelenggaraan korupsi, kolusi dan nepotisme, telah diatur dalam UU No. 28 tahun 1999 Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam UU No. 28 Tahun 1999, tersebut terdapat tiga alasan mengapa UU tersebut diundangkan yaitu antara lain:

a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara;

c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya;

Selanjutnya Pasal 1 angka 1 UU No. 28 tahun 1999, dinyatakan bahwa: Penyelengga Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 2, dinyatakan “Penyelenggara Negara meliputi : 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 UU No. 28 tahun 199 tersebut, maka termasuk juga hakim dapat dikualifikasi sebagai penyelenggara negara, artinya kalua melakukan pelanggaran norma dalam UU No. 28 Tahun 1999, juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya