JAKARTA - Jenderal TNI Agus Subiyanto sukses mencapai puncak karier militernya saat dilantik sebagai Panglima TNI pada Rabu 22 November 2023. Jenderal Kopassus ini menggantikan Laksamana Yudo Margono yang memasuki masa pensiun.
Perjalanan hidup Jenderal Agus diwarnai pahit dan getir di masa pertumbuhan. Masa kecil hingga remaja Agus Subiyanto adalah titik paling rendah dalam hidupnya. Mendekatkan diri dengan beribadah pada Allah SWT jadi titik balik dalam hidupnya. Agus juga tak lupa menjalankan ibadah sunah seperti berpuasa Senin-Kamis.
Agus menjalani masa kecil yang berat. Saat usianya belum genap 5 tahun saat ibunya pergi entah ke mana, meninggalkan adik, ayah, dan dirinya yang merasa merana. Pada fase selanjutnya Agus kecil pun kerap bertikai dengan ibu tirinya. Puncaknya saat Agus baru naik kelas 2 SMA, ayahnya meninggal dunia.
Kakek Agus dulunya dikenal sebagai pembuat kapal ulung, sedangkan ayahnya, Dedi Unadi, adalah seorang prajurit TNI yang di akhir hayatnya berpangkat sersan kepala (serka).
Dulu, dengan sepeda ontel ayahnya kerap mengajak Agus yang masih berusia 4 tahunan menuju lapangan. “Ayahku sebagai tim sepak bola TNI Angkatan Darat. Dia biasanya bermain bola bersama kawan-kawanya hingga menjelang maghrib. Saya menunggunya sambil duduk di pinggir lapangan mengunyah permen pemberian ayah,” kata Agus pada 2022.
BACA JUGA:
Pengalaman itu sangat membekas di sanubarinya hingga sekarang. Bersepeda ontel ke lapangan bersama ayah itu menjadi kegiatan yang sangat berarti baginya. Karena itu pula sebuah sepeda ontel tua dijadikan hiasan di dalam rumahnya kini.
Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keceriaan Agus di masa kecil tiba-tiba sirna setelah ibunya pergi begitu saja meninggalkan keluarga. Kasih sayang ibu yang terenggut di usia kecil membuat Agus frustrasi dan marah.
Dia merasa tidak berharga, diabaikan, dan minder. Pelan-pelan dia menarik diri dari pergaulan. Tidak berapa lama berselang ibunya pergi, ayahnya membawa sosok wanita lain ke rumah sebagai pengganti.
Agus dengan terpaksa memanggilnya mama, meski hati kecilnya berontak. Tapi apa daya, tubuh mungilnya takkan mampu memprotes keputusan ayahnya. Jangankan marah, bersuara pun tidak.
Selanjutnya Agus dan adik-adiknya dibesarkan oleh ibu tiri, tak jarang ada gesekan dan konflik dengan ibu tirinya, apalagi ayahnya yang saat itu bertugas sebagai intel komando distrik militer setempat lebih banyak di luar, sangat jarang di rumah.
BACA JUGA:
Agus tumbuh dan besar dengan mengandalkan dirinya sendiri. Ibarat layang-layang, dia bergerak mengikuti mata angin. Menjelang remaja Agus sering kabur dari rumah, berpindah dari rumah teman ke rumah teman berikutnya.
Perkelahian pun sering menjadi caranya melepaskan kekesalan. Alhasil, Agus dibesarkan oleh lingkungan yang cukup keras bagi seorang remaja dan dia adalah satu di antara sekian pemain kekerasan di jalanan.
Masa remajanya semakin kelam setelah ayahnya meninggal dunia. Agus mengingat, itu terjadi pada hari kenaikan kelas. Sebagai pelajar kelas 1 dia naik ke kelas 2 SMA. Sore suatu Senin di tahun 1984 itu rumahnya diketuk tamu, seorang kolega ayahnya di ketentaraan.
Tak lama dari kedatangan tamu itu, sebuah ambulans datang membawa peti jenazah ayahnya. “Saya ingat pesan terakhir ayahku dulu. Gus, potong rambutmu. Itu hari Minggu, sehari sebelum ayahku meninggal,” ucapnya.
Serka Dedi meninggal karena tertabrak mobil boks saat sedang mengendarai motornya ke tempat kerja. Pilu dan sedih tiada terkira. Dunia Agus berantakan. Ayah, satu-satunya pilar tempatnya bersandar, pun roboh.
Bingung harus bagaimana Agus dan adik-adiknya hanya dapat menangis. “Tentu saya bingung, apalagi saat itu saya belum tamat SMA. Akhirnya tinggal bersama ibu tiri dan hanya mengandalkan uang pensiunan ayah yang tidak seberapa. Tak ada pilihan lain, saya berjalan saja seperti mengikuti mata angin,” katanya.
Hari demi hari dilalui dengan tidak mudah, penuh keterbatasan, bahkan untuk makan pun susah. Tidak jarang Agus hanya makan nasi putih dengan lauk bakwan.
Sebagai remaja yang suka bertualang, suatu ketika pada Februari 1986 di daerah Cimahi, Agus bersama tiga kawannya berkendara sepeda motor berboncengan. Tidak ada satu pun berhelm.
Niat mereka nongkrong di tempat biasa, apalagi Agus baru lulus SMA. Saat melintas di pertigaan Leuwigajah, Baros, mereka bertemu seorang petugas polisi militer yang menghentikan mereka. Tak bisa menolak, ketiganya dibawa ke Kantor Denpom di Jalan Gatot Subroto.
Meskipun usianya saat itu sudah cukup besar, 19 tahun, tapi tak urung tubuh Agus menggigil di ruang kantor Dempom Cimahi. Sepatu bersol hitam dari bahan kulit keras bergerigi mendarat di perut, pinggang, dan tulang keringnya berulang-ulang.