JAKARTA - Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan menyebut cuaca ekstrem berupa puting beliung yang melanda sekitar Rancaekek, Kabupaten Bandung pada Rabu (21/2) sekitar pukul 15.30 sampai 16.00 WIB merupakan kejadian langka dan sulit diprediksi.
“Hampir semua kejadian ekstrem seperti puting beliung di Rancaekek misalnya, hingga kini relatif sulit diprediksi kehadirannya. Selain terbatasnya data yang beresolusi tinggi, namun juga mekanisme pembentukannya, belum dipahami dengan baik dan sempurna. Adalah wajar jika kadangkala masing-masing kita memiliki pandangan berbeda,” ungkap Eddy dalam keterangan resminya, Jumat (23/2/2024).
Menurut Eddy, ini memang kejadian langka, kebetulan yang terdampak satu kawasan yang bernama Rancaekek. Eddy pun menjelaskan Rancaekek merupakan kawasan yang terletak nyaris di tengah-tengah Pulau Jawa bagian barat. Kawasan ini semula merupakan kawasan hijau, yang ditandai dengan banyaknya pepohonan.
Artinya, lingkungannya masih relatif bersih. Namun, sekarang kawasan ini telah beralih fungsi, yang semula hijau, berubah menjadi kawasan industri. Kawasan seperti ini biasanya rawan diterjang pusaran angin.
“Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati, kini berubah menjadi hutan beton,” tegasnya.
Menurut Eddy, industri banyak menghasilkan gas emisi, di mana gas ini tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer, akibat efek rumah kaca. Dengan Lama Penyinaran Matahari (LPM) lebih dari 12.1 jam, maka kawasan ini sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari.
Perbedaan suhu antara malam dan siang sangatlah besar. Tanpa disadari, kawasan ini tiba-tiba berubah menjadi kawasan bertekanan rendah. Kondisi seperti ini dimulai sejak 19 Februari 2024 dan di saat itulah, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek.
Proses ini terjadi agak lama, sekitar 24-48 jam. Diawali dengan pembentukan bayi awan-awan Cumulus (dikenal sebagai Pre-MCS). Kemudian lambat laut membesar membentuk kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang siap untuk diputar hingga membentuk pusaran besar, dikenal sebagai puting beliung.
“Walaupun mekanisme agak komplek untuk dijelaskan secara rinci, namun dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air, dari arah barat dan timur, lalu diperkuat dari arah selatan Samudera Indonesia. Ketiganya berkumpul di satu kawasan yang memang telah mengalami degradasi panas yang cukup tajam,” jelas Eddy.
Dia mengimbau kepada masyarakat, selain tidak usah panik secara berlebihan, yang lebih penting adalah ikuti terus informasi terkini yang diberikan oleh BMKG atau BPBD atau lainnya, pantau secara rutin (reguler). Tidak mengaitkan kejadian ini dengan hal-hal yang tidak masuk akal, tetap berpikir jernih dan logis.
Sudah saatnya masyarakat diberi pencerahan tentang kejadian-kejadian ekstrem yang sepertinya akan bertambah di masa mendatang. Karena kejadian ini terkait erat dengan perubahan suhu udara dan perubahan tekanan udara yang tiba-tiba naik drastis. Maka, sudah saatnya dipasang alat pemantau perubahan tekanan, bisa barometer atau lainnya.
Dia juga berpesan, jangan menambah kerusakan lingkungan. Perbanyaklah menanam pepohonan, back to nature agar laju global warming bisa kita redam.
“Puting Beliung tidak bisa kita cegah (kita redam), namun tanda-tanda kehadirannya bisa kita lihat, mulai dari langit mulai gelap, kecepatan angin permukaan meningkat, suhu udara panas terik di siang hari, namun tiba-tiba mendingin di malam hari, dan lainnya,” tambahnya.
(Khafid Mardiyansyah)