JAKARTA - Dalam ramalannya, Jayabaya dan Ronggowarsito menggambarkan zaman kalabendu sebagai masa penuh penderitaan dan kekacauan. Fitnah menyebar luas, keluarga terpecah belah, kehidupan menjadi sulit, kolusi, korupsi, dan nepotisme merajalela, serta para pemimpin kehilangan wibawa dan otoritas.
Zaman kalabendu dipicu oleh keserakahan manusia, dengan hati yang dipenuhi nafsu angkara murka. Manusia berlomba-lomba untuk cepat menjadi kaya dan hidup dalam kemewahan, tanpa memikirkan konsekuensinya.
Lebih lanjut, banyak terjadi perpecahan dalam keluarga, dengan bapak melupakan anak, anak memberontak terhadap orang tua, saudara saling bermusuhan, dan murid melawan guru. Meskipun demikian, ada harapan bahwa zaman penderitaan ini akan berakhir.
Budayawan Jawa, KP Norman Hadinegoro, mengungkapkan, makna dalam ramalan serat Ronggowarsito yang menggambarkan transisi dari zaman kalabendu ke zaman kemakmuran.
"Mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka" (Atas izin Allah SWT, zaman kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murka pun mereda).
"Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa sarana, nagdam makduming srinata, sonya rutikedatonnya" (Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama).
"Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita" (Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur).
"Luwih adil paraarta, lumuh maring branaarta, nama Sultan Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung sirollah prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna" (Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama Sultan Erucakra (pemimpin yang memiliki wahyu), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya sirullah prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah dzikir, musuh semua bisa dikalahkan).
“Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa, denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun luwiha" (Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara, dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi, penghasilan yang diterima).
"Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda" (Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan).
"Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata" (Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana).
(Arief Setyadi )