Padi Riun, Penjaga Pangan Masyarakat Adat Sungai Lisai 

Demon Fajri, Jurnalis
Minggu 28 Juli 2024 13:37 WIB
Hasan Mukti (76), Ketua Adat Desa Sungai Lisai, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong (Foto: Okezone/Demon)
Share :

BENGKULU - Suara bising knalpot dari sepeda motor modifikasi terdengar di jalan setapak, ketika menuju daerah pedalaman yang tetap menjaga ketahanan pangan di tengah gempuran perubahan iklim. 

Hujan rintik membasahi jalan bebatuan bercampur lumpur di tengah hutan belantara, membuat jalan menjadi licin. Seisi penghuni wilayah blank spot ini memilih berlindung. Di ujung jalan desa, perempuan 70 tahun bercengkerama bersama anaknya di dalam rumah.  

Tidak kurang dari 40 tahun, perempuan uzur itu sudah mendiami perkampungan yang dikeliling perbukitan di Kabupaten Lebong. Diusia senjanya, dia tetap menjaga daerahnya agar terbebas dari kelaparan tersembunyi.

Sejak bermukim di Desa Sungai Lisai, Kecamatan Pinang Belapis, Jaina telah menanam padi tinggi di sawah sebagai penjaga pangan. Padi riun begitulah Komunitas Masyarakat Adat Sungai Lisai, menyebutnya. 

Dia bersama masyarakat tetap menjaga varietas lokal padi tua, secara turun temurun hingga puluhan generasi. Padi rimba ini kokoh, tidak perlu pupuk, hasil gabah lebih banyak, tahan hama, aman dari ancaman gagal panen serta tangguh iklim.

Untuk ditanam di lahan sawah seluas seperempat Hektare (Ha) miliknya, cukup 2,5 kaleng atau setara 35 Kilogram (Kg) bibit padi riun. Sementara padi varietas lain, seperempat Ha membutuhkan 5 kaleng atau setara 70 Kg. 

Ibu dari 9 orang anak ini pernah menghitung, dengan menanam padi seluas seperempat di sawah, gabah yang dihasilnya mencapai 50 kiding atau 25 karung ukuran 50 Kg. Dibandingkan padi varietas lain hanya 25-30 kiding atau setara 12-15 karung.

Padi itu juga memiliki rumpun lebih banyak, 3 bulir bibit padi riun menghasilkan 30-45 rumpun padi bahkan bisa mencapai 60 rumpun atau sebesar paha orang dewasa. Padi varietas lain, jika ditanam 5 bibit maka rumpun tumbuh hanya 5-10 rumpun. 

 

Perempuan yang tergabung dalam komunitas masyarakat adat Sungai Lisai ini mengakui, padi riun lebih tahan hama tikus. Sebab rumpun padi lebih besar serta tak semanis rumpun padi varietas lain sehingga padi tua itu lebih tahan hama. 

''Gabah kering yang dipanen bertahan hingga 20 tahun tanpa mengubah rasa, berbau dan tak berkutu di dalam lumbung atau Bileak. Padi varietas lain akan berkutu dan berbau,'' kata perempuan Dukun Padi ini, Jumat 19 Juli 2024.  

Padi riun ini juga ditanam Adha Yani. Perempuan 37 tahun itu menanam padi tua, di sawah miliknya setengah Ha. Sejak tahun 2012, dia sudah membudidayakan padi tua. Hasilnya cukup memuaskan. 

Gabah yang ditanam menghasilnya 45 karung ukuran 50 Kg. Bibit padi riun yang ditanam tersebut dari masyarakat di desa ini, yang secara turun temurun telah bercocok tanam untuk membudidayakan padi tua.    

''Beras padi riun ketika dimasak lebih mengembang dibanding beras varietas lain. Empat canting beras bisa mencukupi satu keluarga dalam sehari. Padi ini tahan iklim, tidak butuh pupuk,'' sampai perempuan masyarakat adat Sungai Lisai, Yani, Jumat 19 Juli 2024. 


Menjaga Kearifan Lokal


Komunitas masyarakat adat Sungai Lisai masih menjaga kearifan lokal. Sejak tahun tahun 1965, telah menanam padi riun. Dalam proses turun tanam hingga masa panen, mereka tetap menjaga peninggalan leluhur. 

Budaya yang tetap mengakar tersebut terus dilestarikan ketika menanam hingga panen padi riun. Prosesnya diawali dengan kenduri atau syukuran satu minggu sebelum turun tanam. Dukun Padi, begitulah komunitas masyarakat adat Sungai Lisai, menyebut pemimpin doa.
 
Usai kenduri, masyarakat yang turun tanam kembali mengundang Dukun Padi untuk hadir di sawah guna menanam bibit padi di atas lahan sebanyak tujuh lubang. Setiap lubang berisikan 3 bulir padi jaraknya 25 cm. Sembari membacakan doa.  

 


  
Memasuki umur padi 4 bulan, masyarakat kembali meminta Dukun Padi mendoakan padi yang telah berisi agar hasil gabah melimpah. Setelah umur 5 bulan padi siap dipanen. Sebelum proses panen, masyarakat kembali mendoakan padi.

Terakhir setelah padi ditumbuk menjadi beras untuk dimasak, kembali didoakan Dukun Padi. Memanjatkan doa ini ketika hasil gabah pertama kali dimasak petani yang menanam padi riun.  

''Proses menanam padi tinggi ini cukup panjang, berbeda dengan padi varietas lain. Dari sebelum hingga usai panen padi selalu didoakan. Ini sudah dilestarikan secara turun temurun,'' jelas Ketua Adat Desa Sungai Lisai, Hasan Mukti, Jumat 19 Juli 2024. 

Pria 76 tahun itu bercerita, awal masuk ke desa ini tahun 1963. Berselang 2 tahun atau tahun 1965, dia mulai menanam padi riun yang dibawa dari Desa Muara Madras, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Masyarakat menyebutnya padi Madras.

Dari bibit 2,5 kaleng atau setara 35 Kilogram (Kg) itulah komunitas masyarakat adat Sungai Lisai, mampu bertahan hidup dalam mempertahankan pangan dari gabah padi riun hingga puluhan generasi.

Sebelum definitif menjadi desa, daerah ini masih dusun Sungai Lisai di tahun 1970. Berselang 12 tahun. Tepatnya tahun 1982. Desa Sungai Lisai resmi definitif menjadi desa. Masyarakat lain yang tinggal di wilayah ini pun mulai mengambangkan padi riun.  

''Padi riun yang sudah lama dipanen masih tersimpan di Bileak atau lumbung, 10 karung. Hasil gabah padi itu bisa bertahan lama untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Kita tidak kuatir ancaman krisis pangan,'' kata pria uzur ini. 

Kerutan yang menggoreskan lembah-lembah tajam di kening, tergambar sempurna kala pria uzur itu menghitung, selisih 20 hari masa panen padi riun dengan padi varietas lain. Perbedaan selisih waktu itu dikantonginya, ketika turun tanam serentak. 

Seketika tampak matanya bersinar di pelupuk mata kala mengisahkan, jika masa panen padi riun tidak begitu jauh jaraknya. Dia menghitung, jika varietas lain 4 bulan bisa panen. Sementara padi riun 5 bulan juga bisa dituai.
 
''Kalau padi varietas lain saat panen di sabit, hanya butuh waktu 1-2 hari. Padi riun ini dipanen dengan cara dituai. Waktu panen bisa 20 hari. Panen padi riun batang padi harus dirobohkan, tingginya sampai 180 cm,'' ujar pria akrab disapa Datuk Hasan itu.   

 


Cadangan Pangan
 

Di tahun ini. Komunitas masyarakat adat Sungai Lisai, kembali turun tanam ke sawah. Mereka masih memberlakukan indeks pertanaman (IP) 100 di areal persawahan. Itu sudah berlaku sejak desa ini definitif.

Meski begitu. Kebutuhan pangan tetap tercukupi. Masyarakat percaya, jika hasil gabah mereka mampu memenuhi kebutuhan beras dalam satu tahun kedepan hingga masa turun tanam selanjutnya. 

Di awal Agustus 2024. Masyarakat mulai turun tanam. Termasuk Datuk Hasan. Dia mulai menebas lahan seluas seperempat ha miliknya, untuk kembali menanam di September 2024. Bibitnya padi riun. 

Ini tak lain agar varietas lokal padi riun tidak punah. Sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sepanjang tahun. Pria 76 tahun itu telah memprediksi masa panen padi diperkirakan, Februari 2025.  

Dalam menggarap sawah. Bapak dari 9 orang anak ini tak bekerja sendiri. Dia dibantu istri bersama anak-anaknya. Mulai dari proses menanam, merawat hingga panen di sawah yang berjarak sekira 2 Kilometer (Km) dari rumahnya. 
  
''Selain untuk kebutuhan pangan setahun kedepan sebagai cadangan pangan, hasil padi yang ditanam ini juga dijadikan bibit agar tidak punah hingga generasi berikutnya,,'' sampai Datuk Hasan. 

Hasan mengaku, di tahun 2016 dia bersama masyarakat lain mendapatkan bantuan salah satu bibit padi dari Dinas Pertanian dan Perikanan, Kabupaten Lebong. Bibit itu tetap diterima. Namun tak ditanam di area sawah miliknya. 

Bibit padi itu berbeda dengan bibit padi riun. Selain membutuhkan banyak air untuk pengairan di sawah, bibit bantuan tersebut juga membutuhkan pupuk. Berbeda dengan padi riun yang sama sekali tidak membutuhkan pupuk dan tahan cuaca. 

''Padi riun sebagai penjaga pangan di rumah tangga. Setiap gabah yang dihasilkan masyarakat tidak ada yang dijual dan disimpan hingga musim tanam selanjutnya,'' aku Datuk Hasan. 

Desa yang dihuni 97 kepala keluarga (KK) itu memiliki lahan sawah tergarap tidak kurang dari 50 Ha. Secara berangsur mereka mencoba dan mulai menanam bibit padi varietas lain di sawah. Bantuan dari pemerintah daerah setempat. 

Mereka menilai jika bibit padi bantuan tersebut lebih cepat panen dibanding padi riun. Meski demikian, gabah dan bibit padi riun tetap tersimpan di dalam bileak atau lumbung padi. Hal ini disampaikan Sekretaris Desa (Sekdes) Sungai Lisai, Herman Adi (37). 
Herman mengingat, jika bibit padi varietas lain itu mulai masuk dikisaran tahun 2016. Jauh sebelumnya. Masyarakat dengan penduduk 500 jiwa ini telah membudidayakan serta melestarikan padi riun. 

''Masyarakat yang menggarap lahan sawah disini (Desa Sungai Lisai) ada 90 kepala keluarga. Mayoritas penduduk sebagai petani sawah. Ada juga pekebun kopi. Penduduk disini mayoritas dari suku Madras,'' jelas Herman, Sabtu 20 Juli 2024. 

 


Hukum Adat Jadi Benteng 


Masyarakat adat Sungai Lisai, sejak dini telah memproteksi orang luar untuk masuk ke dalam desa. Itu tidak lain agar kawasan tempat tinggal mereka tetap terjaga. Sebab di desa ini membuat peraturan yang tertuang dalam hukum adat, nomor:/PerDes/SL-PB/V/2023.

Salah satu isinya. Tentang kependudukan. Masyarakat luar yang akan menjadi penduduk Desa Sungai Lisai, wajib mengisi aturan adat. Aturan ini telah disepakati perangkat desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan seluruh masyarakat. 

Lalu hukum adat keamanan sungai. Jika ada yang menyentrum, meracun dan menggunakan peledak di perairan sungai dikenakan sanksi adat 20 gantong beras atau setara 200 canting beras (1 gantong beras setara 20 canting beras), kambing satu ekor dan membayar denda. 

''Ini menjadi benteng dalam menjaga Sungai Lisai. Mereka tidak ingin wilayah mereka dirusak,'' jelas Ketua Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, Fahmi Arisandi, Senin 22 Juli 2024.  

Selama ini. Komunitas masyarakat adat Sungai Lisai telah menjaga kearifan lokal. Khususnya, bibit padi riun. Mereka menyimpan gabah di dalam lumbung padi. Bileak, begitulah masyarakat Sungai Lisai menyebutnya. 

Di dalam Bileak berukuran sekira 2,5 meter x 4 meter dan tinggi 3 meter tersebut, mampu menyimpan gabah hingga 300 Kg. Penyimpanan padi di dalam Bileak ini tetap terjaga dan dilestarikan masyarakat Sungai Lisai. 

''Lumbung padi merupakan sumber kehidupan masyarakat adat Sungai Lisai. Di dalam Bileak itu masih ada yang menyimpan gabah padi sejak tahun 1998. Dari sini dapat disimpulkan jika kebutuhan pangan tetap ada,'' jelas Fahmi.   

Masyarakat adat Sungai Lisai, kata Fahmi, secara tidak langsung telah meneliti secara alami, mengamati dan membuktikan kelebihan dari padi riun. Dengan pengetahuan seadanya mereka bisa mengatasi persoalan pangan.  

''Komunitas masyarakat adat Sungai Lisai berbeda dengan komunitas adat lain yang ada di Bengkulu. Contohnya, mereka (Sungai Lisai) masih menyimpan dan menjaga bibit padi riun secara turun temurun. Jika di komunitas lain sudah tidak ada lagi,'' sebut Fahmi.   

 

     
Praktik Pertanian Mendalam


Padi tua di Desa Sungai Lisai merupakan varietas padi lokal, yang telah lama dibudidayakan di wilayah tersebut. Varietas padi lokal seringkali memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan setempat. Termasuk tantangan iklim.

Untuk memastikan ketahanan spesifik padi tua, kata Kepala Dinas (Kadis) Pertanian dan Perikanan, Kabupaten Lebong, Edi Parindo, tentu perlu dilakukan penelitian. Pengujian lapangan, misalnya. 

Dari mengamati bagaimana varietas ini bertahan dalam di iklim ekstrem. Kekeringan atau curah hujan. Lalu analisis genetik, untuk memahami karakteristik genetik varietas agar mengetahui ketahanan terhadap stres iklim. 

Kemudian, pengalaman petani lokal. Dari sini mengumpulkan informasi dari petani yang telah lama menanam varietas mengenai tantangan iklim yang pernah mereka hadapi dan bagaimana padi tua ini bertahan.

Meskipun informasi tentang penelitian varietas padi tua masih terbatas, jelas Edi, kearifan lokal komunitas masyarakat adat Sungai Lisai, menunjukkan jika di daerah mereka memiliki hubungan erat dengan lingkungan. 

''Padi merupakan bagian integral dari kehidupan mereka, meskipun detail spesifik mengenai varietas padi tua Sungai Lisai tidak secara eksplisit dijelaskan. Secara keseluruhan menunjukkan jika Desa Sungai Lisai memiliki praktik pertanian yang mendalam,'' sampai Edi, Minggu 21 Juli 2024. 

Edi menyebut ada beberapa nilai lebih dari padi tua. Mulai dari adaptasi lokal. Padi tua seringkali memiliki adaptasi yang lebih baik terhadap kondisi lingkungan lokal. Seperti tanah dan iklim tertentu. 

Varietas ini, kata Edi, telah lama dibudidayakan di wilayah tertentu, termasuk di Desa Sungai Lisai. Sehingga lebih tahan terhadap hama dan penyakit yang spesifik di daerah tersebut.

Selanjutnya, kearifan lokal dan keberlanjutan. Padi tua biasanya ditanam menggunakan metode tradisional, lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Praktik ini tidak menggunakan bahan kimia sintetis dan mempertahankan kesuburan tanah jangka panjang.

Kemudian, kualitas rasa. Banyak varietas padi tua yang dihargai karena kualitas rasa yang lebih baik dibandingkan dengan varietas padi modern. Ini bisa menjadi nilai tambah untuk pasar niche atau lokal yang menghargai kualitas rasa tertentu.

Terakhir, kearifan budaya. Penanaman padi tua sering kali terkait erat dengan budaya dan tradisi lokal, menjadikannya bagian penting dari warisan budaya setempat. Mempertahankan varietas ini bisa membantu menjaga keanekaragaman budaya dan pengetahuan tradisional.

Keanekaragaman hayati, terang Edi, memang terancam oleh perubahan iklim melalui berbagai mekanisme yang mempengaruhi habitat, distribusi spesies, dan siklus kehidupan. 

Namun, lanjut Edi, usaha konservasi dan adaptasi yang tepat, termasuk pemuliaan tanaman yang memperhitungkan keanekaragaman genetika dan konservasi habitat dapat membantu mengurangi dampak negatif ini.

''Penggunaan varietas padi rendah emisi, bersama dengan pengelolaan air dan lahan yang tepat dapat secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian. Mengadopsi metode-metode ini tidak hanya membantu mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga meningkatkan ketahanan pertanian terhadap perubahan iklim,'' sampai Edi.

Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi mengatakan, padi tua di Desa Sungai Lisai, belum ada pengkajian atau penelitian. 

''Kita akan bersurat ke intansi terkait agar ada penelitian padi tua. Ini perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tidak punah. Padi ini memiliki karakteristik tanah hama penyakit dan tahan iklim,'' jelas Dewi, Kamis 18 Juli 2024. 

Dari Kementerian Pertanian Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian (BPSIP), Bengkulu, belum pernah mengidentifikasi jenis padi tua di Desa Sungai Lisai. Namun bersedia membantu identifikasi karakterisasi jika diperlukan.

Guru Besar Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Reny Herawati mengatakan, belum ada meneliti varietas lokal padi riun di Desa Sungai Lisai. 

Varietas padi tua, kata Reny, akan diriset dalam waktu dekat, dengan mengambil sampel padi. Hal itu untuk mengetahui gen, mendeteksi varietas, apakah tahan hama penykit, kekeringan serta mengetahui karakter varietas padi. 

''Kita ambil sampel padinya dulu. Kita akan menguji varietas lokal tersebut. Tentu ke depannya kita lakukan pemuliaan tanaman dengan cara kawin silang varietas lokal dengan varietas unggul agar umur padi lebih pendek,'' jelas guru besar Bidang Ilmu Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Khusus Padi ini, Jumat 26 Juli 2024. 
 
''Dari penelitian nanti. Kita juga akan melihat Blas, ini merupakan penyakit tanaman padi yang menginfeksi di bagian daun dan leher malai. Jadi, yang kami teliti nanti dari aspek ketahanan penyakit dan cekaman lingkungan abiotik,'' sambung Reny.

Ditambahkan Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, padi tua merupakan varietas padi lokal (heirloom) yang telah dibudidayakan secara turun temurun di Desa Sungai Lisai.

Padi tua tersebut, kata Chozin, belum ada kajian ilmiah maupun kajian tentang respon padi. Beberapa tahun silam, ingat Chozin, Dinas Pertanian dan Perikanan, Kabupaten Lebong, pernah menyusun Rencana Strategis (Renstra) 2016-2021. Di dalamnya mencakup program pengembangan padi organik dengan menggunakan benih dari Desa Sungai Lisai.

''Saya belum menemukan informasi tentang implentasi maupun keberhasilan dari program tersebut. Bahkan program tersebut tidak terlihat ada kaitannya dengan penggunaan padi dari Sungai Lisai untuk menghadapi perubahan iklim,'' kata Chozin, Sabtu 27 Juli 2024. 
 
''Namun jika penekanan program tersebut difokuskan pada produksi padi organik, maka program tersebut dapat dipandang sebagai tindakan mitigasi untuk mengurangi emisi GRK yang ditimbulkan,'' sambung Chozin.

Chozin menjelaskan, padi tua telah dibudidayakan secara turun-temurun di suatu daerah. Sehingga telah memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan setempat. 

Selain itu, lanjut Chozin, varietas lokal (heirloom) umumnya memiliki keunggulan dalam nilai gizi, rasa, aroma, warna, dan kualitas nasi dibanding varietas-varietas modern. Sehingga masyarakat setempat tetap berupaya mempertahankan keberadaannya.

''Saya telah menelusuri sejumlah referensi. Namun tidak menemukan penelitian terkait dengan padi tua. Terkecuali, hasil penelitiannya tidak dipublikasikan,'' jelas Chozin. 

 


Produksi Gabah 
Terhitung tahun 2021. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong, mengajak petani di daerah ini untuk IP 200. Alhasil, pada tahun 2021, 50 Ha lahan sawah petani mulai melakukan IP 200. Tak sampai disitu di tahun 2022 lahan sawah seluas 300 Ha menerapkan IP 200. 

Sementara di tahun 2023 petani sawah menerapkan IP 200 seluas 1300 Ha. Penerapan IP 200 itu tersebar di Kecamatan Lebong Utara, Amen, Uram Jaya, Lebong Tengah, Lebong Sakti, Lebong Selatan dan Kecamatan Bingin Kuning.  
 
Sebenarnya, kata Kadis Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lebong, Edi Parindo, dari zaman ke zaman petani di Lebong hanya melaksanakan satu kali musim tanam atau IP 100. Tepatnya sekira 1998 ke bawah. 

Namun. Saat ini benih padi sudah bisa panen dalam waktu 3 bulan 10 hari. Berangkat dari itu pemerintah mencanangkan IP 200. Hal tersebut belum dapat menggerakkan petani untuk melaksanakan IP 200. Musababnya. Mitos hama tikus sawah (Rattus argentiventer).  
''Kita secara berangsur mengubah cara berpikir atau mindset petani. Caranya mendampingi masyarakat. Kita hadir setiap saat. Kita yakinkan jika hama tikus bisa dibasmi. Salah satu caranya dengan gropyokan,'' sampai Edi, Minggu 21 Juli 2024.
 
Hamparan lahan persawahan di Kabupaten Lebong mencapai 8.649 Ha. Hamparan sawah itu menjadi tempat bergantung hidup masyarakat di daerah tersebut. Dari luasan tersebut 1300 Ha, sukses menghasilkan gabah tanpa adanya kendala dari hama tikus. 

''Petani menanam benih padi ciherang dan Inpari IR Nutri Zinc pada musim tanam II. Rerata satu Ha menghasilkan gabah 6 hingga 8 ton. Daerah kita menjadi salah satu kabupaten di Bengkulu menyumbang gabah,'' jelas Edi. 


Data BPS Provinsi Bengkulu 2024

Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi mengatakan, total produktifitas gabah di Bengkulu, dari 3 hingga 9 ton/ha/ubinan. 

Hasil gabah 9 ton tersebut berasal dari sentra produksi. Seperti di Kabupaten Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur, Lebong, Mukomuko dan Rejang Lebong. Di tahun ini, kata Dewi, Bengkulu menargetkan pruduksi gabah padi 298.715 ton.

Dari target tersebut, jelas Dewi, produksi gabah 174.868 ton. Menyisakan 123.847 ton. Untuk memenuhi target itu maka di Juli 2024, petani di Bengkulu akan turun tanam di sawah seluas 13.356 Ha dan di Agustus 2024, seluas 7000 ha. Dari sini akan menghasilan gabah 96.000 ton, dengan hitungan per ha 4,8 ton.  

''Produktifitas rata-rata per Ha provinsi 4,9 ton. Kalau rata-rata nasional 5,5 ton. Target tahun ini, produksi gabah padi 298.715 ton. Hingga Desember nanti target tersebut akan tercapai,'' kata Dewi, Kamis 18 Juli 2024. 


Kontribusi Sektor Pertanian 
Peningkatan konsentrasi GRK. Yaitu CO₂, CH₄, N₂O, SF6, HFC dan PFC, ini terjadi akibat aktivitas manusia. Seperti pemanfaatan bahan bakar fosil, pengembangan industri, limbah, usaha pertanian dan peternakan dan konversi lahan yang tidak terkendali. 

Aktivitas tersebut mengakibatkan terperangkapnya radiasi di atmosfer, sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi secara global. Indonesia pernah dituding sebagai negara terbesar ketiga penghasil GRK dunia, terutama akibat perubahan tata guna lahan dan penggundulan hutan. 

Berdasarkan hasil inventori GRK Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2006, Indonesia berada diurutan ke 16 dari 20 negara pengemisi GRK terbesar di dunia. 

Sektor pertanian melepaskan emisi GRK ke atmosfer dalam jumlah yang cukup signifikan. Yaitu CO₂, CH₄ dan N₂O. Emisi dari kegiatan produksi padi dan pembakaran bio massa sebagian besar merupakan kontribusi dari negara berkembang. Masing-masing 97% dan 92%. Di mana emisi metana dari padi umumnya berasal dari Asia Selatan dan Asia Timur (82%). 

Emisi dari pembakaran sabana di Afrika, Amerika Latin dan Karibia menyumbang 74% emisi. Dari negara maju, emisi dari peternakan adalah yang tertinggi (52%) dibanding dari negara berkembang.  

Hasil inventori GRK Indonesia dari Second National Communication (UNDP Indonesia 2009) menunjukkan, kontribusi emisi sektor pertanian yang jauh lebih rendah. Yaitu 51,20 Mt CO₂e atau hanya 12% dari total emisi Indonesia (436,90 Mt CO₂e). 

Emisi GRK diprediksi akan terus bertambah pada masa mendatang, karena meningkatnya  kebutuhan akan pangan. Oleh karena itu, selain tetap peduli dengan berusaha mengurangi emisi GRK dari sektor pertanian melalui strategi mitigasi. 

Secara simultan perlu pengkajian dan analisis tentang kapasitas dan laju penyerapan GRK pada sektor pertanian, serta penilaian multifungsi pertanian terhadap iklim dan lingkungan. 

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen menyampaikan, banyak riset yang meneliti bagaimana dinamika pertanian terhadap perubahan iklim. Pertanian salah satu sektor paling terdampak terjadi perubahan iklim, karena mempengaruhi pola tanan dan produktivitas hasil pertanian.

Disisi lain, sektor pertanian adalah penyumbang emisi. Sektor pertanian diberbagai tempat seperti Bengkulu memiliki keterbatasan lahan, menyebabkan terjadi okupasi terhadap area hutan yang akan mengurangi kemampuan vegetasi untuk menyerap karbon. 

''Padahal peningkatan peyerapan karbon oleh vegetasi merupakan bagian dari mitigasi perubahan iklim,'' ungkap Yansen, Rabu 17 Juli 2024.

 


Dampak Perubahan Iklim  
Pertanian terutama sub sektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama. Yaitu bio-fisik, genetik dan manajemen. Hal ini karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama kelebihan dan kekurangan air.  

Perubahan pola hujan telah terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir, seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi dan maju di lokasi lain. Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan, jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim cenderung meningkat dalam 50 tahun terakhir, terutama di kawasan pantai.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu, Klaus Johannes Apoh Damanik menyebut, dampak pemanasan global mulai dirasakan, begitu juga dengan kondisi pergeseran musim dan peningkatan suhu. 

''sudah terasa terjadinya pergeseran musim untuk beberapa lokasi di Provinsi Bengkulu, terutama daerah tipe munsional 2 atau sepanjang tahun memiliki 2 musim (kemarau dan hujan),'' kata Damanik, Senin 15 Juli 2024.  

Catatan iklim Provinsi Bengkulu khusus untuk suhu udara 


 
Secara rata-rata hujan tahun 1991-2020, jelas Damanik, wilayah Bengkulu memiliki 2 tipe zona hujan. Yakni tipe hujan equatorial 1 hujan sepanjang tahun (HST) meliputi 8 zona dan tipe hujan munsunal 2 (hujan dan kemarau) meliputi 10 zona. 

Adapun rata-rata awal musim kemarau pada Juni dan panjang kemarau berkisar 2 bulan, sedangkan awal rata musim hujan pada akhir Agustus. Pergeseran musim terlihat pada daerah Kabupaten Kepahiang. 

Dari 1981-2010, terang Damanik, awal musim kemarau Juni dengan panjang musim 11 dasarian, sedangkan rata-rata di 1991-2020 menjadi awal musim kemarau Juni, dengan panjang musim 12 dasarian. 

''Jika disimpulkan musim kemarau 1981-2010 dan 1991-2020 menjadi lebih lama 1 dasarian dan maju 1 dasarian,'' jelas Damanik.

Trend suhu rata-rata disemua UPT di Bengkulu, kata Damanik, terjadi peningkatan signifikan. Untuk stasiun Klimatologi Bengkulu terjadi peningkatan suhu tertinggi dengan peningkatan sebesar 0.0297/tahun.

''Sehingga dari data awal pengamatan 1984 ke tahun 2023 selama 39 tahun, terjadi peningkatan sebesar 1.158 celcius/periode tersebut,'' sampai Damanik. 
Awal musim hujan di Bengkulu, terang Damanik, dengan pola hujan munsunal 2 dengan pemuktahiran data normal 1991-2020 (10 zona), terjadi antara Agustus–September. Jika dibandingkan dengan data normal 1981-2010. Awal musim hujan September. 

''Jadi dapat disimpulkan awal musim hujan sama, namun panjang musim hujan berkurang 1 dasarian,'' ungkap Damanik. 

Data Stasiun Klimatologi Bengkulu, kenaikan suhu udara sepanjang tahun 1984 – 2023


 
Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Bengkulu, kenaikan suhu udara sepanjang tahun 1984–2023, suhu rata-rata terjadi kenaikan 0.097 celcius/tahun atau 1.158 celsius/ periode. 

''Suhu rata-rata maximum terjadi kenaikan 0.0059 celsius/tahun atau 0.23 celsius/periode. Suhu rata-rata minimum terjadi kenaikan 0.0389 celsius/tahun atau 1.52 celsius/periode,'' imbuh Damanik.

Dengan kondisi perubahan curah hujan tersebut, jika petani tetap menerapkan pola tanam seperti kondisi normal maka kegagalan panen akan semakin sering terjadi. Dengan  penurunan curah hujan dan ketersediaan air waduk, petani juga perlu mengubah pola tanam padi-padi menjadi padi-nonpadi. 

Dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, telah mengantisipasi dengan memasang 200 unit pompanisasi guna mendukung perluasan areal tanam serta dampak dari perubahan iklim. 
 
Pemasangan pompa air itu, kata Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, DTPHP Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi, salah satu mengantisipasi kekeringan lahan swah dampak dari pemanasan global. 

Pemasangan pompa tersebut, jelas Dewi, di Kabupaten Bengkulu Selatan sebanyak 84 unit, Seluma 33 unit, Rejang Lebong 4 unit, Bengkulu Utara 6 unit, Kaur 67 unit dan Kabupaten Bengkulu Tengah sebanyak 6 unit. 

''Ketika mengalami kekeringan di areal tanam maka pompa ini sudah siap mengaliri air ke lahan sawah petani. Ini dipasang di daerah rawan kekeringan,'' jelas Dewi, Kamis 18 Juli 2024. 

 


Rentan Bencana  
Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengindikasikan, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim. 

Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman pangan. 

Berdasarkan jurnal Litbang Pertanian 2011, pada masa mendatang pembangunan pertanian akan dihadapkan pada beberapa masalah serius, penurunan produktivitas dan pelandaian produksi yang tentunya membutuhkan inovasi teknologi untuk mengatasinya. 

Untuk mencegah dan mengurangi kerentanan dampak perubahan iklim, kata Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Provinsi Bengkulu, Yanmar Mahadi, masyarakat harus melakukan adaptasi dalam pengelolaan pertanian. 

Seperti kegiatan penerapan pola tanam (padi-padi-palawija), penerapan pola tanam heterokultural (tumpang sari), model irigasi (irigasi teknis dan non teknis), pemanfaatan lahan pekarangan, pemilihan komoditas tahan iklim.  

Lalu, pertanian terpadu (menggabungkan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan yang berkait dengan pertanian dalam satu lahan), pelestarian potensi pangan lokal, budidaya tanaman pangan dan urban farming. 

Selain itu, jelas Yanmar, masyarakat harus ada kegiatan mitigasi untuk mengurangi emisi GRK di sektor pertanian. Diantaranya, menerapkan pertanian rendah emisi GRK. Contohnya, luas pola tanam menggunakan pupuk organik dan tidak bakar jerami di sawah.

''Aksi adaptasi mitigasi pada sektor pertanian merupakan kegiatan wajib dalam proklim. Harapannya masyarakat mampu mengatasi permasalahan kerentanan ketahanan pangan, akibat dari keterpaparan perubahan iklim,'' sampai Yanmar, Selasa 16 Juli 2024.

Dampak perubahan iklim memerlukan upaya aktif. Cara mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Mitigasi bertujuan mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas rendah emisi serta pengelolaan air dan lahan. 

Adaptasi dapat diterapkan. Mulai dari penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas serta pengembangan teknologi pengelolaan air.

Sektor pertanian, sebut Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Yansen, menyumbang emisi GRK melalui tata guna lahan dan aspek budidaya. Dari aspek tata guna lahan, usaha pertanian membutuhkan lahan yang ditanam dengan tanaman musiman (pertanian) ataupun tanaman jangka lama (perkebunan).

Dalam usaha pertanian ini, terang Yansen, kontribusi ke GRK melalui pembukaan lahan. Ketika lahan dibuka dan pohon ditebang maka vegetasi penyerap CO₂ berkurang. Praktik persiapan lahan dengan membakar langsung melepaskan karbon monoksida (CO), di samping gas buang lainnya. 

Apabila lahan yang dibuka dan dibakar adalah lahan dengan kandungan bahan organik lebih tinggi, seperti lahan gambut maka karbon yang dilepaskan di udara semakin lebih tinggi. 

Dari aspek budidaya, ada banyak budidaya tanaman, misalnya budidaya padi, yang memang akan melepaskan Metana (CH₄) ke udara. Hal ini terkait dengan genangan air dan pembentukan metana oleh mikroba. 

''Karena itu, di sektor pertanian perlu diterapkan strategi mitigasi dalam praktik yang berkontribusi terhadap perubahan iklim,'' imbuh Yansen, Rabu 17 Juli 2024.

Yansen mencontohkan manajemen lahan yang berkelanjutan. Seperti meninggalkan praktik pembakaran dalam penyiapan lahan. Budidaya polikutlur antara tanaman musiman atau tahunan. Kopi, misalnya. 

Dengan pohon-pohonan itulah salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim. Sebab dapat meningkatkan serapan CO₂. Regulasi suhu dan kelembaban juga meningkatkan bahan organik tanah melalui seresah.

Kemudian, mengurangi penggunaan bahan kimia dan meningkatkan penggunaan bahan organik yang ada disistem pertanian. 

''Dalam konteks budidaya padi, manajemen irigasi, pengolahan lahan, pengurangan penggunaan bahan kimia serta kemungkinan menanam varietas yang lebih sedikit mengemisi metana dapat menjadi alternatif,'' jelas Yansen. 

Emisi GRK dari lahan pertanian didominasi gas metana (CH₄), karbon dioksida (CO₂) dan dinitrogen oksida (N₂O). Dalam budidaya padi CH₄ berasal dari proses dekomposisi (pembusukan) bahan organik secara anaerob (tanpa oksigen), akibat tanah selalu teregenang air.

Sementara CO₂ berasal dari penggunakan input agrokimia (pupuk Urea dan NPK) dan dari respirasi (pernapasan) mikroba. Selama dekomposisi secara aerob terhadap bahan organik. 

Kemudian N₂O berasal dari proses denitirifikasi secara anaerob oleh mikroba terhadap pupuk nitrogen (Urea, ZA, dan NPK), maupun pupuk organik yang diaplikasikan. Varietas padi yang bobot kering (biomassa) tanamannya rendah dan rongga akarnya (aerenkim) sempit.  

''Beberapa varietas padi, seperti Mekongga, Cigeulis, Membramo dan Inpari 13 dilaporkan menghasilkan emisi CH₄ rendah. Pengairan berselang (intermittent) akan membantu menyeimbangkan gas CO₂ dan N₂O selama proses dekomposisi,'' kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, Sabtu 27 Juli 2024.  

''Pengurangan penggunaan input agrokimia akan membantu pengurangan emisi kedua gas tersebut dari lahan persawahan. Pembakaran lahan dan penyiapan lahan tanam yang intensif juga perlu dihindari untuk mengurangi emisi CO₂,'' sambung Chozin.

 


Upaya Menghadapi Perubahan Iklim 
Dampak perubahan iklim yang begitu besar merupakan tantangan bagi sektor pertanian. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, melalui upaya mitigasi penggunaan varietas padi rendah emisi. 

Sejak 2020 hingga 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu melaksanakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) di 5 dari 10  kabupaten/kota di Bengkulu.
 
Literasi iklim itu untuk mendukung ketahanan pangan, dalam rangka adaptasi perubahan iklim dengan berkolaborasi bersama Kementerian Pertanian, Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian (BPSIP) Bengkulu, Pemerintah Daerah dan petani.

Di tahun 2020, SLI Operasional di Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang. Komioditi tanaman kopi dan Jagung Manis. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 58.58 ke 78.78 %. Dilanjutkan pada tahun 2021, SLI Operasional, dengan komoditi tanaman kopi. 

Lalu, di tahun 2021 SLI Operasional di Desa Arma Jaya, Kecamatan Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu Utara. Komioditi tanaman Padi. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim panen 8 ton, rata-rata 5 ton.

Di tahun 2022 SLI Operasional, di Desa Sari Mulyo, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma. Komoditi padi dengan tema pertanian organik, ramah pestisida dengan hasil maksimal. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 71 ke 74 %. Panen 7.2 ton dan 8.1 ton, rata-rata 5 ton.

Di tahun 2023 SLI Operasional, di Desa Masmambang, Kecamatan Talo, Kabupaten Seluma. Komiditi tanaman padi. Dengan pemberdayaan petani dalam pemasyarakatan pengendalian hama terpadu mewujudkan petani yang tangguh beradaptasi dengan iklim. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 62.5 ke 63.4 %. Panen 6.0 ton, rata-rata 4 ton.
Terakhir di tahun 2023 SLI Tematik, di Dinas Pertanian, Kabupaten Rejang Lebong. Mengangkat tema pemahaman informasi mengenai iklim dan perubahan iklim. Hasilnya, peningkatan pemahaman petani terhadap iklim 73.8 ke 90.2 %. 

''Penerapan keberhasilan tanaman tergantung dari faktor tanah, tanaman dan iklim. Untuk itu faktor iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya keberhasilan/kegagalan panen,'' kata Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu, Klaus Johannes Apoh Damanik, Senin 15 Juli 2024. 

Penerapan informasi iklim/musim, jelas Damanik, sangat diperlukan untuk memperhitungkan kebutuhan tanaman akan pentingnya iklim, terutama curah hujan. Di mana manajemen pengairan perlu diperhatikan untuk disesuaikan saat fase-fase pertumbuhan/ perkembangan tanaman. 

''Dengan mengetahui iklim/musim yang akan berlangsung melalui prakiraan yang dibuat BMKG, maka penerapan pola tanam perlu dilakukan. Sehingga hal ini dapat mencegah kerugian/gagal panen,'' sampai Damanik.   

Adaptasi/mitigasi, jelas Damanik, merupakan langkah terbaik untuk perubahan iklim yang nyata telah terjadi. Semua sektor pembangunan terdampak perubahan iklim. Salah satunya sektor pertanian. Untuk itu, petani perlu mengetahui dan memahami perubahan yang terjadi disekitarnya terutama berkaiatan dengan iklim. 

Damanik mencontohkan, adaptasi yang perlu dilakukan petani. Antara lain pemilihan bibit/benih yang bisa menyesuaikan dengan iklim/musim pada saat itu, dan pengaturan pola tanam disepanjang musim yang berlangsung saat itu. Iklim mempengaruhi langsung terhadap kelangsungan hidup dari unsur kecukupan energi untuk pertumbuhan/perkembangan tanaman. 

''Kita juga harus memperhatikan perkembangan yang dratis hama/penyakit yang diprakirakan akan menyerang tanaman tersebut. Sehingga pola tanam yang memperhatikan komoditi iklim dengan menggunakan bibit yang unggul adalah solusi terbaik untuk menyesuaikan keadaan iklim dan menekan perkembangan hama/penyakit,'' sampai Damanik. 

Adaptasi tersebut sebagai upaya meningkatkan pemahaman petani dan petugas penyuluh pertanian, terhadap data dan informasi iklim yang dapat langsung diaplikasikan pada aktivitas pertanian. Pengelolaan lahan sawah ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk organik dan pestisida nabati.

Edukasi cara mengurangi penggunaan karbon dengan pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan. Salah satunya mengurangi pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik dan pupuk pestisida nabati.

Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi menjelaskan, kegiatan Unit Pengelola Pupuk Organik (UPPO) menjadi salah satu upaya menghadapi perubahan iklim.  

Di mana petani dilatih tata cara membuat pupuk organik dengan memproduksi pupuk kompos (organik) secara mandiri. Dewi mencontohkan, pelepah sawit, daun jagung dan kotoran hewan ternak dapat diolah menjadi pupuk organik.

''Cara ini memanfaatkan potensi di lingkungan sekitar. Sehingga mengurangi pemakaian pupuk kimia guna memperbaiki struktur tanah,'' jelas Dewi, Kamis 18 Juli 2024.

Kemudian, dari DTPHP Provinsi Bengkulu, mengadakan sekolah lapang. Ini sudah diterapkan sejak tahun 2014. Dari sini petani diberikan inovasi go organik ramah lingkungan. 

''Sosialisasi juga ditekankan dengan cara meningkatkan tutupan lahan dengan menanami tanaman kacang-kacangan guna mengurangi penguapan unsur kimia,'' sampai Dewi. 

Skenario perubahan iklim terutama adalah terkait dengan peningkatan konsentrasi CO₂ dan peningkatan suhu rata-rata. Di samping itu kemungkinan terjadi anomali iklim. Misal pola hujan atau kekeringan yang tidak beraturan. 

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen mengatakan, keanekaragaman hayati flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) berinterkasi dengan kondisi lingkungan, dan dalam jangka waktu panjang beradaptasi dengan kondisi lingkungan tertentu. 

Ada flora dan fauna yang dapat hidup di kondisi lingkungan yang luas. Misalnya rata-rata suhu, kelembaban yang rentangnya besar, disebut dengan generalis. Tapi ada tumbuhan dan hewan yang hidup di kondisi yang spesifik yang disebut spesialis.

Bagi tumbuhan, kata Yansen, secara umum peningkatan konsentrasi CO₂ tidak menjadi masalah, karena merupakan sumber karbon bagi tumbuhan. Namun kenaikan suhu, penurunan kelembaban, perubahan pola hujan, kekeringan akan dapat berdampak. 

''Keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang spesialis yang misalnya rentang kondisi lingkungannya spesifik, maka ancaman kepunahan atau kematian akibat perubahan iklim akan lebih besar,'' jelas Yansen, Rabu 18 Juli 2024.

''Jenis-jenis yang tahan peningkatan suhu misalnya rumput-rumputan, semak dan spesies invasif akan lebih mudah berkembang. Ini dapat mengurangi keanekaragaman hayati karena adanya kompetisi biologis untuk memanfaatkan sumber daya lingkungan,'' sambung Yansen.

Di lingkungan tropis, tambah Yansen, ada banyak hewan yang memiliki rentang habitat yang tidak terlalu luas. Perubahan lingkungan akan dapat menyebabkan kematian dan kepunahan. 

Perubahan tutupan lahan dan peningkatan pemukiman dan aktivitas insdustri, jelas Yansen, dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis tertentu. Yansen menyebut, ada banyak jenis serangga yang dulunya mudah ditemui. Sekarang jarang atau tidak ada lagi.

''Contohnya jenis kupu-kupu, capung, kunang-kunang. Padahal jenis-jenis ini penting sebagai perantara polinasi/penyerbukan tumbuhan untuk regengerasi. Artinya, kepunahan hewan tertentu dapat menyebabkan kepunahan tumbuhan tertentu,'' sampai Yansen. 

Perubahan iklim merupakan istilah mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Dampak ditimbulkan bersifat insidental. Mulai dari Banjir, angin topan atau kebakaran hutan.  

Perubahan iklim memang terjadi dan dapat mengancam keanekaragaman hayati. Namun ekosistem yang berkembang dalam skala tertentu memiliki kapasitas untuk membantu mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim tersebut. 

''Sumber daya genetik yang merupakan komponen keanekaragaman hayati akan diupayakan tetap dipertahankan eksistensinya oleh masyarakat, ketika sumber daya genetik itu memberi manfaat dan disukai manusia. Misalnya padi tua di Sungai Lisai yang sampai saat ini masih eksis,'' jelas Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, Sabtu 27 Juli 2024.

 


Turunkan Emisi GRK 
Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu, tetapi menjadi kenyataan yang memerlukan tindakan nyata secara bersama pada tingkat global, regional maupun nasional. Menyikapi perubahan iklim, perlunya strategi meliputi beberapa aspek. Mulai dari antisipasi, mitigasi dan adaptasi. 

Strategi antisipasi dengan pengkajian terhadap perubahan iklim, untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap sektor pertanian. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim. 

Ditingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO₂e), dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO₂e, bila emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut tidak diperhitungkan. 

Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 8%. Walaupun sumbangan emisi dari sektor pertanian relatif kecil, dampak yang dirasakan sangat besar. 

Secara global Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 834 juta Ton CO₂e (29%) dengan usaha sendiri dan 1,08 miliar ton CO₂e (41%) jika mendapatkan bantuan internasional.  

Berdasarkan laporan pemantauan pembangunan rendah karbon (PRK) tahun 2022, Provinsi Bengkulu mampu menurunkan emisi GRK sebesar 8,15 juta ton CO₂eq dari baseline emisi tahun 2022 sebesar 29,32 juta ton CO₂eq.

 
Kontribusi emisi dari sektor pertanian di Indonesia

 

 

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Provinsi Bengkulu berupaya menurunkan emisi GRK melalui dua langkah. Seperti sektor kehutanan dan penggunaan lahan Forestry and Other Land Use (FoLU). Caranya melalui kegiatan peningkatan cadangan karbon (PCK). 
Lalu program pemanfaatan potensi sumber daya hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, pencegahan penurunan cadangan karbon (PPCK) dan program perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.

Kegiatannya penghijauan lingkungan, pengembangan perbenihan tanaman hutan, penanaman pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), persemaian permanen dan pengadaan bibit/benih tanaman kehutanan.

Pengurangan emisi tersebut sebagian disumbangkan dari kegiatan program kampung iklim (Proklim). Aksi mitigasi perubahn iklim ditingkat masyarakat di 9 kabupaten/kota di Bengkulu. 

Proklim ini merupakan salah satu kegiatan DLHK Bengkulu yang telah berjalan selama 9 tahun sejak 2014 hingga 2023. Tidak kurang dari 59 desa/kelurahan telah terbentuk kampung iklim. 

Pada tahun 2023 proklim tersebut berlangsung di 16 desa/kelurahan wilayah. Belasan daerah itu sudah teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menggalakkan advokasi GRK. 

Di kampung iklim itu masyarakat diberikan edukasi tata cara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mulai dari gerakan penghijauan hutan, rehabilitasi, pengelolaan sampah serta lainnya. 

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Provinsi Bengkulu, Yanmar Mahadi mengatakan, proklim merupakan aksi lokal masyarakat terkait adaptasi dan mitigasi, dalam menghadapi dampak perubahan iklim. 

''Tujuannya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di tingkat tapak. Salah satu komponen kegiatannya disektor pertanian,'' kata Yanmar, Selasa 16 Juli 2024.  
Di Indonesia, setiap provinsi berusaha menurunkan emisi GRK. Di Bengkulu menargetkan menurunkan sekira 25 persen dalam jangka waktu 5 tahun. Hal ini disampaikan Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Bengkulu, Rosmala Dewi, Kamis 18 Juli 2024. 

Di Bengkulu, sebut Dewi, emisi dari aktivitas sektor pertanian sekira 1 persen. Sebab dilihat dari luas lahan sawah di daerah ini 50.840 Hektare (Ha). Untuk itu pihaknya telah mengembangkan metode tanam System of Rice Intensification (SRI). 

''Sejak tahun 2014, kita telah mengembangkan metode SRI di daerah sentral produksi padi. Seperti Kabupaten Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur, Lebong, Mukomuko, dan Kabupaten Rejang Lebong. Metode ini bisa menekan emisi GRK,'' jelas Dewi. 

Metode SRI, jelas Dewi, dapat menghemat penggunaan input. Seperti benih, penggunaan air, pupuk kimia dan pestisida kimia melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal. Manfaatnya, kata Dewi, lebih hemat air, Kebutuhan air hanya 20-30 persen dari kebutuhan air untuk cara konvensional.

Lalu, memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah. Kemudian, tidak tergantung pada pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.

''Metode ini juga menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia serta mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang,'' ujar Dewi.

Kontribusi emisi GRK dari sektor pertanian sebenarnya relatif rendah. Laporan Kementerian PP/Bappenas-LCDI (Low Carbon Development Indonesia) menunjukkan, sektor pertanian menyumbang emisi GRK hanya 13% dari total emisi GRK di Indonesia. 

Namun, kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu (UNIB), Prof Mohammad Chozin, upaya mitigasi dapat dilakukan agar sumbangan GRK tersebut dapat dikurangi. 

''Misalnya pengurangan dalam penggunaan sarana produksi dari industri agrokimia dan menggantikannya dengan pupuk organik dan biopestisida,'' sebut Chozin, Sabtu 27 Juli 2024. 

Artikel ini merupakan hasil fellowship program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerjasama AJI Indonesia dan DW Akademie dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi seluruh artikel merupakan tanggung jawab penulis.

(Khafid Mardiyansyah)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya