Pakar: Aturan Kejahatan Terhadap Ideologi Negara Perlu Penjelasan Lebih Jauh 

Fakhrizal Fakhri , Jurnalis
Rabu 09 Oktober 2024 23:09 WIB
Ilustrasi (Foto: Dok Okezone)
Share :

JAKARTA - Kejahatan terhadap ideologi negara kini telah memiliki aturan setelah UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP disahkan. Salah satu praktek yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan. 

Hadirnya aturan kejahatan terhadap ideologi negara dirasa memerlukan penjelasan lebih jauh dalam singgungannya dengan terorisme.   

Ketua Program Kajian Terorisme, Muhamad Syauqillah menilai bahwa tindak pidana terhadap ideologi negara yang diatur dalam KUHP Pasal 188, 189, dan 190 perlu pengaturan lebih lanjut dalam konteks tindak pidana terorisme. Menurutnya, banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila.  

“Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila. Kalau di UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang perilakunya. Nah KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan,” ucapnya dalam diskusi kajian terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, Rabu (9/10/2024).

Apa yang disampaikan Syauqi, sejalan dengan pernyataan Penyidik Densus 88 “Kebanyakan tersangka kita adalah karena problem ideologi,”. 

Wakil Direktur SKSG, Eva Achjani Zulfa menambahkan bahwa kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM, namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain. Sehingga, menurutnya, penanganan pidana ideologi harus hati-hati. “Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” ujarnya.   

Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. Selain itu, dijelaskan juga tentang socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang.

“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana denan lapas super maximum security?” ucapnya.

Ketua Program Doktor SKSG UI, Margaretha Hanita mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi terkait Papua Merdeka. Dia mengatakan pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh dikelompoknya. 

“Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme,” ucapnya. 

Jaringan Moderat Indonesia, Ishlah Bahrawi mengatakan bahwa seringkali sebuah negara lengah memantau ideologi yang bisa jadi sumber terorisme. Menyebut Baader Mainhof sebagai contoh yang terjadi di Jerman dengan sistem demokrasinya, Ishlah menyampaikan perlunya hati-hati terhadap ideologi semacam wahabi-salafi di Indonesia.

“Wahabi-salafi adalah embrio terorisme. Ini berasal dari pengalaman dialog langsung dengan mantan napiter yang menantang saya dialog karena protes atas pernyataan saya. Terhadap kelompok yang taqiyah inilah kita perlu menerapkan 188, 189, dan 190,” ujarnya. 

Dalam pandangannya universalisme Pancasila perlu dijaga. Namun bukan berarti negara dapat abai terhadap ideologi-ideologi yang bisa menjadi akar terorisme di Indonesia.

“Gerakan kiri jauh dan kanan jauh saat ini bertemu di Jerman dan sedang menjadi perhatian negara. Termasuk di dalamnya cyber terrorism, ini perlu dilakukan Indonesia juga,” ujarnya.


 

(Fakhrizal Fakhri )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya