JAKARTA – Somalia merupakan negara paling timur di Afrika yang terletak di Tanduk Afrika. Negara ini memiliki posisi strategis antara Afrika Sub-Sahara dan negara-negara di Arab serta Asia barat daya, dengan ibu kotanya, Mogadishu yang berada di tepi Samudra Hindia. Penduduknya mayoritas terdiri dari suku Somali yang hidup nomaden, menggembala ternak atau bertani.
Sejak dahulu, wilayah pesisir utara dan timur Somalia telah terhubung dengan dunia luar karena kedekatannya dengan Arab, dan merupakan pusat perdagangan produk berharga seperti kemenyan, bulu burung unta, dan ghee atau mentega jernih. Wilayah ini juga terkenal dalam catatan Mesir kuno sebagai tanah Punt, "tanah aroma dan dupa." Antara abad ke-7 dan ke-10, para pedagang Arab dan Persia Muslim mendirikan pos perdagangan di sepanjang Teluk Aden dan pesisir Samudra Hindia.
Pada abad ke-19, kekuatan Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Italia mulai berlomba-lomba untuk menguasai wilayah Somalia. Hingga akhir abad ke-19, Somalia terpecah menjadi beberapa wilayah yang dikuasai oleh Inggris, Italia, dan Prancis. Wilayah utara sebagai protektorat atau wilayah perlindungan Inggris, sementara Italia mengambil alih bagian selatan dan mendirikan koloni Somalia Italia. Berdasarkan Britannica, bagaimana pengaruh negara-negara tersebut selama berada di Somalia?
Inggris mulai menunjukkan ketertarikan terhadap pantai utara Somalia setelah mendirikan stasiun batu bara di Aden pada tahun 1839. Pendirian stasiun ini bertujuan untuk menciptakan rute cepat menuju India, yang pada saat itu merupakan salah satu koloni terpenting bagi Kekaisaran Inggris. Dengan meningkatnya aktivitas perdagangan dan militer di kawasan itu, kebutuhan akan pasokan daging untuk garnisun di Aden semakin mendesak. Hal ini mendorong Inggris untuk menjalin hubungan dengan wilayah pantai utara Somalia, yang kaya akan sumber daya dan potensi perdagangan.
Pada 1884-1886, Inggris mulai menandatangani perjanjian perlindungan dengan beberapa klan utama di wilayah utara. Dalam perjanjian tersebut, Inggris berjanji bahwa klan-klan tersebut akan tetap merdeka, sementara Inggris akan menguasai dan mengendalikan wilayah pantai. Dengan cara ini, protektorat Inggris di Somaliland secara resmi didirikan. Langkah ini tidak hanya mencerminkan strategi kolonial Inggris untuk mengamankan jalur perdagangan, tetapi juga menunjukkan bagaimana mereka mencoba untuk memanfaatkan dinamika lokal dan struktur kekuasaan yang ada.
Pada akhir abad ke-19, Inggris menghadapi tantangan dari Sayyid Maxamed Cabdulle Xasan, seorang pemimpin lokal yang dikenal sebagai "Mad Mullah" oleh Inggris. Sayyid Maxamed memimpin gerakan perlawanan yang menentang dominasi Inggris dan menuntut kemerdekaan bagi rakyat Somalia. Pemberontakan ini berlangsung selama lebih dari satu dekade dan menunjukkan ketidakpuasan mendalam di kalangan penduduk lokal terhadap kontrol kolonial Inggris.
Pemberontakan ini terus berlanjut hingga tahun 1920, ketika Inggris melancarkan serangan udara dan laut untuk menekan gerakan tersebut. Dengan kekuatan militer yang lebih superior, Inggris akhirnya berhasil menumpas pemberontakan Mad Mullah, namun dengan biaya yang cukup tinggi baik dari segi sumber daya maupun reputasi. Meski begitu, perlawanan yang dilakukan oleh Sayyid Maxamed dan para pengikutnya meninggalkan dampak yang mendalam di Somaliland, menciptakan warisan perlawanan yang terus dikenang oleh generasi selanjutnya.
Italia mulai memperluas wilayah koloninya di Afrika dengan mendirikan stasiun di Aseb pada tahun 1869, yang kemudian menjadi bagian dari koloni Eritrea. Ambisi Italia untuk menguasai wilayah Somalia semakin meningkat seiring dengan persaingan dengan negara-negara Eropa lainnya dan Ethiopia. Pada tahun 1889, Italia memperoleh dua protektorat di timur laut Somalia dan mengendalikan bagian selatan pesisir Somalia yang disewa dari Sultan Zanzibar. Ini menandai awal dari pendudukan dan ekspansi lebih lanjut di wilayah tersebut.
Italia secara bertahap memperkuat kendalinya atas Somalia. Setelah berbagai perusahaan Italia yang gagal mengelola wilayah tersebut, pada tahun 1905, pemerintah Italia mengambil alih secara langsung administrasi koloninya. Itali berupaya untuk mengembangkan infrastruktur dan perkebunan, terutama di sepanjang lembah Sungai Shabeelle dan Jubba. Namun, perbatasan dengan Ethiopia masih diperdebatkan, sehingga memicu konflik seperti insiden Welwel pada tahun 1934. Konflik ini berlanjut hingga Perang Italia dan Ethiopia pada 1935-1936, yang membuat wilayah Ethiopia dan Somalia Italia disatukan di bawah Kekaisaran Afrika Timur Italia, meskipun tidak bertahan lama.
Setelah Perang Dunia II, Italia kehilangan kendali atas wilayah tersebut, tetapi pada 1950, mereka kembali memerintah bagian selatan Somalia sebagai perwalian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selama periode perwalian ini, Italia diberi waktu 10 tahun untuk mempersiapkan wilayah tersebut menuju kemerdekaan. Program tersebut mencakup pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial-politik, meskipun masih banyak tantangan yang dihadapi. Pada akhirnya, pada 1 Juli 1960, Somalia selatan yang sebelumnya berada di bawah perwalian Italia bergabung dengan wilayah utara (mantan protektorat Inggris) untuk membentuk Republik Somalia yang merdeka.
Prancis menunjukkan ketertarikan terhadap Somalia dengan mendirikan koloni di Obock pada 1862. Obock awalnya merupakan pemukiman kecil yang dibangun sebagai titik strategis untuk perdagangan dan pelayaran, dan seiring waktu, tempat ini berkembang menjadi pelabuhan utama Djibouti. Djibouti dikenal sebagai Tanah Somalia Perancis, dan pelabuhan ini kemudian menjadi pusat komersial yang penting bagi Prancis dan memainkan peran krusial dalam jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Selama periode ini, Prancis bersaing dengan Inggris untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Tanduk Afrika. Kedua kekuatan kolonial ini terlibat dalam persaingan yang ketat, tidak hanya untuk memperoleh wilayah, tetapi juga untuk menguasai jalur perdagangan dan akses ke sumber daya alam. Untuk mengatur batas-batas pengaruh mereka di Somalia, Prancis dan Inggris menandatangani perjanjian perbatasan pada tahun 1888. Perjanjian ini menetapkan batas-batas wilayah kekuasaan kolonial di Somalia, dengan Djibouti secara resmi diakui sebagai bagian dari koloni Prancis.
Meskipun Djibouti menjadi koloni Prancis, wilayah tersebut tetap terpisah dari wilayah Somalia lainnya yang pada akhirnya bersatu dan memperoleh kemerdekaan. Ini menjadi titik penting dalam sejarah kolonial Somalia, karena Djibouti terus berada di bawah kekuasaan Prancis bahkan setelah negara-negara di sekitarnya meraih kemerdekaan. Selama periode kolonial, Prancis membangun infrastruktur dan mengembangkan pelabuhan Djibouti, menjadikannya sebagai pusat logistik yang penting di wilayah tersebut.
Kendati Prancis melakukan beberapa upaya untuk mengembangkan wilayahnya, konflik tetap terjadi di antara berbagai kelompok etnis dan komunitas di wilayah tersebut. Selain itu, kebijakan kolonial Prancis, yang terkadang keras dan diskriminatif, menciptakan ketidakpuasan di kalangan penduduk lokal.
(Rahman Asmardika)