Kerajaan Majapahit menempatkan perempuan di atas dan bahkan sampai mengatur perlindungannya. Kerajaan Majapahit terlebih dahulu menetapkan aturan detail mengenai perlindungan perempuan. Peraturan diterapkan begitu ketat, termasuk interaksi perempuan yang sudah menikah, lengkap disertai sanksi yang berat.
Tujuan utamanya tentu menjaga harkat martabat sang perempuan sendiri semasa Kerajaan Majapahit berkuasa. Tak jarang sanksi berupa hukuman mati atau dibunuh menjadi hal terberat, bagi siapa-siapa yang melecehkan derajat perempuan.
Memang Majapahit mengatur perempuan yang berumah tangga seolah-olah hanya untuk melayani dan menyenangkan hati suaminya saja. Tetapi hal ini dimaksudkan agar sang perempuan tidak mendapat perlakuan tak senonoh dari laki-laki di luar rumah, sebagaimana dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Negarakertagama" dari Prof. Slamet Muljana.
Bahkan menurut undang-undang, sang perempuan tak diizinkan untuk bercakap-cakap atau bersenda gurau dengan laki-laki selain suaminya. Hal itu tidak memandang apakah laki-laki itu sahabat suaminya, iparnya, atau bahkan seorang pendeta sekalipun, apalagi di tempat yang sunyi.
Pihak laki-laki pun dilarang keras untuk menegur atau bercakap-cakap dengan perempuan yang telah bersuami di tempat sepi. Pelanggaran terhadap aturan itu akan dikenakan denda sepuluh ribu. Peraturan yang sekeras itu dimaksudkan untuk melindungi para perempuan dari kejahatan - kejahatan, yang dapat ditimbulkan dari pergaulan bebas antara kaum laki-laki dan kaum wanita.
Bahkan jika sang perempuan yang telah bersuami kepergok tengah melakukan sedeng, atau berduaan atau dalam kata lain berselingkuh dengan lelaki lain, suaminya berhak untuk membunuh kedua - duanya, tanpa takut akan adanya tuntutan atau pengaduan. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada undang-undang, bahwa barang siapa melakukan tindak sedeng, jika terbukti akan dijatuhi hukuman mati.