Dalam forum yang sama, pakar hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar menunjukkan kontradiksi yang dilakukan oleh kejaksaan. "Pada dasarnya seorang jaksa itu bisa menggunakan hukum hati Nurani. Tapi, jika parameternya tidak jelas, berpotensi untuk disalahgunakan," terangnya.
Akademisi yang akrab dipanggil Uceng itu kemudian mencontohkan kasus Jaksa Pinangki. ’’Bagaimana bisa pertimbangannya itu karena dia seorang ibu blab la dan sebagainya, masih punya anak kecil, lalu kemudian dituntut dengan hukuman yang sederhana. Padahal, di tempat (kasus) lain, disparitas (pertimbangannya) jauh,’’ terangnya.
Menurutnya, spirit dan pertimbangan yang tidak tepat inilah yang kemudian menjawab fenomena kenapa setelah viral baru bergerak. ’’Parameter dan pertimbangannya harus benar-benar pas dan bisa diterapkan kepada siapa pun,’’ katanya.
’’Nah, saya bayangkan harus ada parameter yang jelas supaya orang tidak menduga macam-macam. Jangan-jangan karena ini jaksa dengan jaksa, lalu ada pertimbangan yang njelimet-njelimet seperti seakan-akan menggali betul, ini (Pinangki) adalah ibu. Tapi, di kasus lain, pertimbangannya menjadi sangat berbeda,’’ terangnya.
(Awaludin)