Kisah Pahit Soeharto Jadi Pengangguran

Zen Teguh, Jurnalis
Selasa 10 Juni 2025 07:07 WIB
Jenderal TNI Soeharto (kiri) bersama Presiden Soekarno. Pak Harto akhirnya dilantik sebagai Presiden ke-2 RI pada 1967. (Foto: File/AP).
Share :

JAKARTA  – Rabu Kliwon, 8 Juni 1921, Soeharto lahir. Siapa sangka bocah desa itu kelak menjadi presiden RI bahkan berkuasa hingga 32 tahun lamanya? Namun, jauh sebelum naik takhta dia pernah merasakan pahit getir hidup tanpa pekerjaan alias pengangguran. 

 “Nama Soeharto tidak berarti apa-apa bagi dunia dan bagi kebanyakan orang Indonesia sebelum tanggal 1 Oktober 1965. Pada hari itu, kehidupan seorang prajurit yang tidak dikenal, dalam beberapa jam telah berubah dari keadaan gelap menjadi cemerlang,” kata OG Roeder dalam buku ‘Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto’, dikutip Selasa (10/6/2025).

Bukan perkara mudah bagi Soeharto sampai di titik itu. The Smilling General (julukan Harto) mesti melewati jalan berliku, pertempuran berdarah, hingga aneka kontroversi. Faktanya, tiga dasawarsa dia seolah sosok tak tersentuh. 

David Jenkins dalam bukunya ‘Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1985’ menggambarkan Harto pada dekade 1980-an semacam sosok primus inter pares (paling unggul dibanding lainnya). 

 1. Lulus Sekolah Jadi Pengangguran

Akar Soeharto dari desa terpencil di barat Yogyakarta, tepatnya Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Terlahir pada 8 Juni 1921 dari pasangan Kertosudiro, seorang ulu-ulu (petugas desa pengatur air) dan Sukirah, ibu rumah tangga biasa, ekonomi keluarga mereka sangat rendah sekali.  

Karena itu pula setelah menamatkan schakel school (sekolah lanjutan rendah) Muhammadiyah di Wonogiri, Harto tak mampu melanjutkan sekolah karena tak satu pun keluarganya yang mampu membiayai. Dia mengingat pesan ayahnya agar mencari pekerjaan.

“Saya berusaha kian kemari mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak juga berhasil. Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang saya harapkan akan bisa membuka jalan,”kata Soeharto dalam buku biografi yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana bertajuk ‘Soeharto: Pikuran, Ucapan dan Tindakan Saya’.

 

Keputusannya membuahkan hasil. Setelah kesana-kemarin, akhirnya dia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah bank desa (volks bank). Inilah pekerjaan pertama Harto. “Walaupun saya tidak begitu senang dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada nganggur di tengah suasana yang muram,” ucapnya.

2. Bernasib Apes

Suatu ketika Soeharto bernasib apes. Saat turun sepeda, kain yang dipakainya tersangkut pegas sadel sehingga robek. Sungguh malang karena kain itu dia pinjam dari bibinya. Walhasil sang bibi murka dan memarahinya. 

Kejadian itu menjadi akhir pekerjaannya sebagai pembantu klerek. Soeharto mengaku tak menyesal karena tak mendapat kesenangan dari pekerjaan keliling desa untuk memberikan pinjaman kepada petani atau pedagang kecil itu.

“Saya menganggur lagi, tetapi saya tidak putus asa,” ujar Harto. Dia memutuskan untuk pergi ke Solo. Dalam benaknya, di kota besar itu pasti ada tempat yang membutuhkan pekerja. Tapi kenyataannya tidak.

“Di Solo ternyata tidak ada pekerjaan. Maka, saya kembali ke Wuryantoro,” kata Harto. Untuk mengisi hari-harinya, dia ikut menggarap beberapa pekerjaan gotong-royong seperti membangun langgar desa, menggali parit dan membereskan lumbung. Setelah itu, kenang dia, hari-harinya kembali gelap.

3. Masuk KNIL lalu Mengangur Lagi

Nasib Soeharto mulai berubah ketika datang kesempatan mendaftar Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Dia diterima dan akhirnya mendapat pendidikan di Gombong, Jawa Tengah.

Harto lulus dengan predikat terbaik. Setelahnya dia ditugaskan ke Batalyon XIII, Rampal, Malang. Beberapa waktu kemudian serdadu yang pernah menggembala kerbau ini berpindah ke Jawa Barat.

“Pecahnya perang dunia membuat Sersan Soeharto dikirim ke Cisarua, Bandung, untuk bergabung sebagai pasukan cadangan di markas Angkatan Darat,” tulis A Yogaswara dalam ‘Biografi Dari Pada Soeharto’.

Pada 8 Maret 1942 Belanda yang menjajah Indonesia menyerah kepada Jepang. Dengan segera Negeri Matahari Terbit itu menjajah Tanah Air. Bendera Merah Putih yang sebelumnya masih boleh berkibar dilarang. Sebagai gantinya bendera Hinomaru yang bertengger di mana-mana.

 

Jepang juga membentu lembaga keamanan di desa-desa. Sebagai tentara KNIL, Seoharto tak mau ditawan. Dari Cisarua dia memutuskan untuk pulang kampung ke Yogyakarta. Seperti sebelumnya, Soeharto lagi-lagi harus menjadi pengangguran karena keadaan.

“Saya pergi ke Yogya mengadu untung. Membosankan sekali hidup tanpa pekerjan. Maka saya kursus mengetik di Patuk, di depan asrama polisi,” kata Harto. Sayang, ketika itu penyakitnya kambuh lagi. Untuk diketahui, Harto pernah terserang malaria usai ditugaskan di Gresik saat dinas di KNIL. 

4. Dari Polisi Jadi Tentara

Takdir membawa Harto kembali berkarier sebagai serdadu. Uniknya, dia justru memulai dari kepolisian. Semasa di Patuk itu dia melihat lowongan pekerjaan. Keibuho alias Polisi Jepang menerima anggota baru. Semula Harto ragu mendaftar. Apalagi kalau bukan statusnya yang mantan tentara KNIL, juga pernah terserang malaria.

Tapi dia akhirnya lulus. Jadilah anak ketiga dari Kertosudiro-Sukirah itu menjadi anggota Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Setelah lulus dia pernah ditempatkan di Solo, Yogya hingga Madiun. Tapi, Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 mengubah jalan hidupnya lagi.

Semangat kemerdekaan membahana. Harto berinisiatif mengumpulkan teman-temannya mantan Peta. Kelak setelah itu mereka bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Dari sini dia terus menjalani suratan hidup sebagai serdadu. Puncak karier militernya ketika dia menjadi Panglima ABRI periode 6 Juni 1968 hingga 28 Maret 1973, setelah sebelumnya sukses menduduki jabatan Pangkostrad karena dinilai berhasil menumpas G30S/PKI.

Dari militer bocah desa Kemusuk itu menapak karier politik. Singkatnya, Soeharto diangkat MPRS sebagai Presiden ke-2 RI menggantikan Soekarno.

“Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Presiden RI. Dengan pelantikan itu, secara legal formal pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dikenal sebagai Orde Lama pun berakhir. Akibatnya, pemerintahan baru di bawah Presiden Soeharto yang kemudian disebut Orde Baru mulai menjalankan pemerintahannya,” tulis Adi Sudirman dalam ‘Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia dari Klasik hingga Kontemporer’.

(Zen Teguh)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya