JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja menyampaikan, bahwa pihaknya tengah menyusun rancangan perubahan Undang-Undang (UU) Pemilu. Usulan tersebut nantinya akan diserahkan kepada DPR dan juga disampaikan kepada publik untuk dibahas lebih lanjut.
“Kami (Bawaslu) juga sedang menyusun rancangan perubahan. Kami akan serahkan kepada DPR dan juga menyampaikan kepada publik. Kami harap masukan ini bisa menjadi bahan diskusi bersama,” ujar Bagja, Sabtu (26/7/2025).
Bagja menjelaskan, sejumlah poin yang menjadi sorotan dalam usulan perubahan tersebut meliputi penegakan hukum pemilu, kewenangan penyelenggara, penanganan pelanggaran dan sengketa hasil pemilu, serta hoaks dan misinformasi. Ia juga menekankan pentingnya reformasi terkait pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam hal penegakan hukum, ia menyoroti ketidakjelasan posisi hukum (legal standing) Bawaslu dalam sidang sengketa proses pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami di PTUN sebagai apa? Beberapa kali Bawaslu dihadirkan, tetapi tidak jelas statusnya—bukan saksi, bukan pula pemberi keterangan resmi. Ketidakjelasan ini menjadi hambatan dalam proses persidangan,” jelasnya.
Terkait pelanggaran TSM, Bagja menjelaskan bahwa Bawaslu selama ini menggunakan pendekatan kuantitatif, sementara Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan aspek kuantitatif dan kualitatif. Ia berharap UU Pemilu ke depan dapat memberikan kejelasan soal batasan dan penilaian kedua pendekatan tersebut.
Bagja juga menekankan pentingnya kewenangan Bawaslu untuk merekomendasikan penghapusan (take down) konten pelanggaran di media sosial.
“Bawaslu perlu mendapatkan legitimasi dalam regulasi agar dapat memerintahkan atau merekomendasikan penghapusan konten yang mengandung misinformasi atau melanggar aturan kampanye, misalnya kampanye di masa tenang,” katanya.
Ia juga mengusulkan pembentukan unit siber terintegrasi di lingkungan Bawaslu. Unit ini dinilai penting untuk memperkuat koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Siber Polri, dan platform digital dalam menangani hoaks serta konten berbahaya.
“Bawaslu harus mampu melakukan deteksi dini terhadap narasi hoaks, serta segera berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti Kominfo dan penyelenggara platform digital,” lanjutnya.
Bagja juga menyoroti perlunya pengaturan waktu penanganan pelanggaran pemilu, terutama di wilayah kepulauan. Ia menyebutkan bahwa pemanggilan terlapor atau saksi kerap terkendala waktu tempuh, yang berdampak pada efektivitas proses hukum.
“Sering kali panggilan baru sampai dua hari kemudian. Akibatnya, penanganan pelanggaran menjadi terkendala,” ungkapnya.
Terakhir, ia mengusulkan agar UU mengakomodasi pemeriksaan in absentia dalam penanganan pelanggaran pilkada, sebagaimana dalam pemilu. Hal ini diperlukan karena banyak ASN yang diduga melanggar netralitas justru menolak hadir saat dipanggil oleh Bawaslu.
“ASN yang diduga melanggar kerap tidak memenuhi panggilan. Ini menjadi hambatan dalam penegakan hukum,” pungkasnya.
(Awaludin)