Penilaian terhadap legitimasi hukum haruslah menggunakan pendekatan integratif: prosedur dan substansi. Tidak cukup jika undang-undang hanya sah dari sisi prosedur, tetapi bertentangan dengan nilai moral masyarakat. Sebaliknya, undangundang yang substansinya baik juga tidak dapat dibenarkan jika dibentuk melalui cara yang tertutup dan elitis. UU TNI menjembatani keduanya—memenuhi asas formil pembentukan undang-undang serta mengandung substansi yang adil dan relevan dengan tantangan nasional.
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara legalitas formil dan keadilan substantif. Oleh sebab itu, dalam menilai UU TNI, MK perlu mengakui bahwa proses yang dijalankan telah memenuhi prinsip internal morality ala Fuller: transparan, partisipatif, stabil, jelas, dan konsisten. Sementara dari sisi substansi, ketentuan dalam UU telah selaras dengan prinsip objektif supremasi sipil, perlindungan hak asasi, dan kebutuhan strategis bangsa.
UU TNI yang baru mencerminkan sintesis antara kebutuhan negara modern dan nilai-nilai demokrasi konstitusional. Ia tidak lagi menempatkan militer sebagai kekuatan dominan, melainkan sebagai mitra aktif dalam menjaga keamanan nasional secara profesional dan terukur. Dalam dunia yang dilanda kompleksitas ancaman, pendekatan hukum yang responsif namun bermoral seperti ini adalah jalan tengah yang ideal.
Dengan segala prinsip moral, prosedural, dan substansi yang telah dijabarkan, UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 dapat dikatakan sebagai contoh nyata dari hukum yang tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga bernapas dalam nilai dan semangat konstitusi. Hukum seperti ini bukan hanya harus dipertahankan, tetapi juga menjadi model bagi legislasi sektor lain dalam membangun sistem hukum nasional yang adil, terbuka, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat dan negara.
Penulis: Dr. Sudirman, SH., MH - Pengajar Hukum Tata Negara dan Ahli Legislasi
(Awaludin)