REVISI Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) melalui UndangUndang Nomor 3 Tahun 2025 merupakan tonggak penting dalam pergeseran paradigma kebijakan pertahanan negara. Sebagai instrumen hukum yang mengatur institusi militer di negara demokrasi, keberadaan UU ini tidak hanya dilihat dari isi pasalnya, melainkan juga proses legislasi yang melahirkannya. Sejumlah pihak mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi, menuding bahwa proses pembentukannya cacat secara hukum, khususnya karena dugaan minimnya partisipasi publik dan lemahnya transparansi.
Namun, pendekatan yang diambil dalam menganalisis konstitusionalitas UU TNI tidak cukup hanya berbasis formalisme hukum. Perlu diperkenalkan pendekatan moralitas internal yang diperkenalkan oleh Lon L. Fuller, yang menekankan bahwa hukum yang sah tidak hanya dinilai dari validitas normatif atau formalistik, melainkan juga dari proses pembentukannya yang adil, transparan, dan partisipatif. Fuller menekankan bahwa hukum harus mencerminkan delapan prinsip dasar: kejelasan, konsistensi, keterbukaan, keadilan, tidak kontradiktif, dapat dilaksanakan, tidak berubah-ubah secara mendadak, dan partisipasi publik yang berarti.
Dalam hal ini, proses legislasi UU TNI menunjukkan kepatuhan terhadap asas-asas moralitas internal hukum. Pemerintah, sejak awal 2023, menginisiasi sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dan uji publik dengan melibatkan institusi strategis seperti Lemhannas RI, akademisi, LSM, dan pakar hukum. Proses ini direkam secara rinci, dibuktikan dalam bentuk dokumen resmi sebanyak 52 bukti tertulis (PK-1 s.d. PK-52) yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi. Kehadiran dokumen tersebut membuktikan bahwa proses tidak hanya simbolik, tetapi bermakna (meaningful participation), sebagaimana ditekankan dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Konsistensi dalam proses juga tercermin dalam kronologi legislasi yang panjang. Revisi UU TNI telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010–2014, dilanjutkan dalam Prolegnas 2020–2024, dan kemudian dibahas secara carry over berdasarkan Pasal 71A UU P3. Prosedur carry over ini sah secara hukum dan didukung konsensus antara Presiden dan DPR. Hal ini diperkuat oleh pendapat ahli hukum tata negara yang menyatakan bahwa revisi UU tersebut merupakan bagian dari upaya penyempurnaan kebijakan pertahanan, bukan produk legislasi instan yang terburu-buru.
Substansi revisi UU TNI juga memperlihatkan upaya penyesuaian terhadap kompleksitas tantangan keamanan nasional. Misalnya, perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menjadi respons atas ancaman kontemporer seperti terorisme, bencana alam, keamanan siber, dan ancaman non-konvensional lainnya. Pasal 7 UU TNI secara eksplisit menetapkan bahwa tugas TNI mencakup operasi militer perang dan OMSP yang bersifat bantuan kemanusiaan, stabilisasi nasional, dan penegakan hukum atas permintaan otoritas sipil. Ini membuktikan bahwa UU TNI tidak melanggar Pasal 30 UUD 1945, melainkan memperluas daya guna militer secara konstitusional.