Kelompok Ekonomi Kelas Menengah Picu Perbedaan Sikap Demokrasi

Muhammad Refi Sandi, Jurnalis
Kamis 21 Agustus 2025 23:21 WIB
Seminar Nasional Refleksi Delapan Dekade dan Proyeksi Indonesia 2045 (Foto: Refi Sandi/Okezone)
Share :

JAKARTA – Analis Ekonomi Politik Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45), Baginda Muda Bangsa, mengungkap temuan data soal situasi demokrasi di Tanah Air yang mayoritas diisi oleh kelompok ekonomi kelas menengah. Berdasarkan kategori Bank Dunia, kelas menengah adalah mereka yang berpenghasilan Rp2 juta hingga Rp10 juta per bulan, dan kelompok ini ternyata memiliki kepentingan yang beragam dalam menyikapi demokrasi di Indonesia.

Hal itu disampaikan dalam Seminar Nasional "Refleksi Delapan Dekade dan Proyeksi Indonesia 2045" di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (21/8/2025).

“Kelas menengah itu, kalau kita bicara demokrasi, tidak bisa dilihat sebagai entitas tunggal. Tidak semata-mata, dia masuk kelas menengah dalam kategori World Bank, penghasilan keluarga negara Rp2 juta sampai Rp10 juta, kemudian tiba-tiba dia mau ngomong soal demokrasi. Jadi harus dipahami,” ujar Baginda.

“Jadi kalau bicara kelas menengah, jangan dibuat seolah kelas menengah ini jadi ratu adil,” tambahnya.

Namun, Baginda menyebut, kalaupun ada kelompok kelas menengah yang konsen terhadap kemajuan demokrasi, jumlahnya masih kecil. Hal ini berimbas pada keterbatasan dalam mengkritisi wacana publik yang tidak populis.

“Kalau segmen kelas menengah prodemokrasi itu kecil, sulit untuk membuat wacana publik yang diterima semua orang. Apalagi kalau kemunduran demokrasi itu dilakukan secara subtil, diam-diam dalam aturan. Tak ada yang tahu, kan?” katanya.

Baginda juga menilai jika isu yang dibahas menyangkut hajat hidup orang banyak seperti pajak, maka kelompok kelas menengah meski terfragmentasi akan lebih bersuara. Namun, demokrasi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang proses dan institusi.

“Tapi kan demokrasi itu bukan cuma soal kesejahteraan. Dia ada soal institusinya, prosesnya, yang itu benar-benar bisa diubah. Tapi sifatnya subtil seperti yang tadi saya bilang, seperti high politics, bukan dikonsumsi orang-orang secara umum. Contoh soal revisi UU TNI, kan tidak semua orang bicara UU TNI, karena kepentingan mereka beda-beda,” katanya.

“Jadi menurut saya, itu yang kemudian menjadi kesulitan bagaimana kelas menengah kritis ini bisa mendorong atau mencegah terjadinya kemunduran demokrasi,” imbuhnya.

Karena itu, Baginda bersama Jessica Areta, selaku Analis Ekonomi Politik LAB 45, memaparkan sejumlah rekomendasi agar kelas menengah ke depan dapat lebih berpengaruh dalam mendukung kemajuan demokrasi dan bukan sebaliknya.

Berikut empat rekomendasi utama yang dibagi ke dalam beberapa poin di tiap segmennya:

1. Pekerjaan Berkualitas lewat Kompetisi Swasta
-    Mendorong kompetisi di sektor swasta untuk menyediakan pekerjaan berkualitas.
-    Menjamin birokrasi yang kapabel dan profesional.

2. Keseimbangan Pendidikan: Antara Keterampilan Ekonomi dan Kewarganegaraan
-    Evaluasi efektivitas dan efisiensi anggaran pendidikan.
-    Penguatan pendidikan demokrasi dalam kurikulum pembelajaran.

3. Menjaga Hak Sipil melalui Perlindungan Hukum
-    Jaminan kebebasan berekspresi.
-    Akses terhadap bantuan hukum yang adil dan merata.

4. Membentuk Simpul Prodemokrasi
-    Membangun jejaring lintas generasi dan kelas sosial.
-    Menciptakan ruang dialog terbuka dengan publik.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya