JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menyatakan keprihatinan mendalam atas vonis penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara. Mereka dinyatakan bersalah karena menghalangi aktivitas pertambangan nikel di wilayah adat mereka.
Andreas menilai kasus tersebut mencerminkan ketegangan serius antara kepentingan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan ketimpangan regulasi dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
“Dalam perspektif reformasi regulasi dan hak asasi manusia, kami menilai peraturan dan praktik hukum yang ada belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat adat dan pejuang lingkungan,” ujar Andreas, Kamis (23/10/2025).
Menurutnya, putusan pengadilan yang menolak mengakui warga Maba Sangaji sebagai pembela hak atas lingkungan hidup memperlihatkan adanya celah besar dalam harmonisasi hukum antara UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
“Vonis terhadap warga yang mempertahankan tanah adatnya sendiri menunjukkan gagalnya sistem peradilan dalam membela hak-hak masyarakat,” tegas Andreas.
Seperti diberitakan sebelumnya, 11 warga Maba Sangaji dijatuhi hukuman penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio karena menolak aktivitas tambang nikel salah satu perusahaan. Dalam sidang yang digelar Kamis (16/10), 10 warga divonis lima bulan delapan hari, sementara satu terdakwa lainnya, Sahil Abubakar, menerima hukuman serupa dalam sidang terpisah.
Mereka dinyatakan melanggar Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pasal yang selama ini dikritik karena kerap digunakan untuk menjerat warga penolak tambang.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Maba Sangaji menilai putusan ini sebagai bentuk nyata ketidakadilan dan kriminalisasi terhadap rakyat kecil. Proses hukum pun dinilai janggal karena tidak ditemukan barang bukti maupun laporan kekerasan dari pihak perusahaan.
Andreas menegaskan, hak masyarakat untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari HAM yang dijamin Konstitusi dan Deklarasi Universal HAM.
“Setiap tindakan warga dalam mempertahankan ruang hidupnya tidak seharusnya dikriminalisasi,” ujarnya.
“Negara wajib memastikan hukum tidak digunakan untuk membungkam partisipasi masyarakat, terutama kelompok adat yang rentan terhadap tekanan struktural dan korporasi.”
Ia menilai kasus Maba Sangaji mencerminkan lemahnya tata kelola regulasi yang tumpang tindih dan gagal memberikan keadilan bagi masyarakat lokal.
“Regulasi pertambangan terlalu berpihak pada investasi, sementara perlindungan terhadap masyarakat adat masih bersifat deklaratif tanpa mekanisme efektif,” katanya.
Sebagai alat kelengkapan DPR yang berfokus pada penguatan hukum dan perlindungan HAM, Komisi XIII DPR mendorong adanya harmonisasi antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Masyarakat Adat agar penegakan hukum berorientasi pada keadilan ekologis.
“Kami juga meminta evaluasi terhadap penerapan Pasal 162 UU Minerba yang sering digunakan untuk menjerat warga penolak tambang,” ungkap legislator dari Dapil NTT I itu.
Lebih lanjut, Andreas mendorong Mahkamah Agung dan Komnas HAM melakukan kajian atas putusan PN Soasio untuk memastikan asas-asas HAM tidak diabaikan, termasuk hak atas lingkungan dan peradilan yang adil.
“Reformasi hukum tidak hanya soal membuat peraturan baru, tapi memastikan hukum hadir untuk melindungi yang lemah, bukan menguatkan yang kuat,” tegasnya.
“Negara harus berdiri di sisi keadilan, menjamin hak masyarakat adat mempertahankan ruang hidupnya, serta memastikan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan nilai kemanusiaan dan kelestarian lingkungan. Jangan ada lagi kriminalisasi terhadap warga yang membela hak-hak adatnya,” pungkas Andreas.
(Awaludin)