Di Amerika Serikat (AS), lazim para kandidat presiden saling serang lewat iklan. Di Indonesia, bisa dibilang hal demikian mencemarkan nama baik. Namun, fenomena seperti itu kini sudah menggejala.
"Berapa rumah yang dimiliki John McCain? Saya beri tahu, ada tujuh. Makanya, jangan kita beri dia satu rumah lagi, Gedung Putih," begitulah ujar Presiden AS terpilih Barack Obama dalam iklan kampanye ketika dia bersaing dengan McCain, rivalnya dari Partai Republik.
Terbukti, melalui iklan ini dan sederet iklan politik lain, Obama mampu menduduki kursi presiden dalam pemilu Super-Tuesday awal November lalu. Di AS, sudah lazim iklan para kandidat saling serang. Isu tertentu, kelemahan, ataupun fakta hidup seorang kandidat bisa menjadi amunisi untuk menyerang lawan politik.
Namun, tentu saja hal ini berbeda dengan di Indonesia. Sebuah iklan yang "menyerang" ataupun berbeda dengan data penguasa biasa dituduh merekayasa data ataupun mencemarkan nama baik.
Menurut Koordinator Program Magister Manajemen Komunikasi Politik Universitas Indonesia Effendi Ghazali yang menyitir buku Electing The President, 2000: The Insiders' View karya Kathleen Hall Jamieson, iklan atau kampanye politik itu ada empat macam.
Pertama, iklan advokasi kandidat. Iklan ini biasanya bersifat memuji- muji seorang calon. Adapun pendekatan yang digunakan lebih menonjolkan prestasi masa lalu kandidat atau partai politik (retrospective policy-satisfaction). Artinya materi iklan lebih menonjolkan sisi keunggulan kandidat atau partai.
Kedua, iklan politik juga bisa berupa iklan advokasi isu. Biasanya iklan ini digunakan pihak-pihak netral untuk menyampaikan satu pandangannya terkait dengan kondisi kekinian. Sebut saja di antaranya isu tentang lingkungan hidup, pengangguran, atau kemiskinan.
Adapun yang ketiga berupa iklan menyerang (attacking). Fokus iklan ini adalah menunjukkan kegagalan-kegagalan lawan politik. "Salah satunya iklan Gerindra yang mengkritisi angka kemiskinan di Indonesia," ungkap Effendi.
Jenis iklan terakhir berdasarkan isinya adalah iklan memperbandingkan. Pada intinya iklan ini tidak jauh berbeda dengan iklan attacking, tetapi cara yang digunakan dengan memperbandingkan data tentang kualitas, rekam jejak, dan program kerja antarkandidat.
Artinya, iklan menyerang seharusnya menjadi sebuah kewajaran. Inilah yang terjadi di AS ketika proses pemilu berjalan.
Masyarakat Negeri Paman Sam terbiasa diberi sajian iklan saling serang antara McCain yang diusung kubu Republik dan Obama dari Demokrat. Bahkan, kemunculan iklan antara satu kubu dengan lainnya bak berbalas pantun. Saat Obama mencalonkan diri sebagai Presiden AS, salah satu isu yang paling menonjol dilontarkannya adalah program kesehatan.
Menurut Obama, seharusnya asuransi kesehatan pemerintah mewajibkan perusahaan melindungi segenap karyawannya dengan asuransi kesehatan yang memadai. Untuk di luar karyawan, pemerintah akan menjamin adanya sistem perpajakan yang memungkinkan terdapatnya dana untuk asuransi kesehatan bagi warga biasa.
Iklan tersebut pun langsung dibalas McCain dengan mempertanyakan kenapa pemerintah mewajibkan perusahaan melindungi karyawannya dengan asuransi kesehatan yang memadai? Menurutnya, alangkah baiknya jika pemerintah memberi tiap warganya dana senilai USD5.000.
Penggunaan dana tersebut diserahkan kepada rakyat untuk membelanjakannya terhadap asuransi, terserah kepada mereka. Bahkan, khusus masalah pajak, McCain secara tegas menuduh Obama menggunakan cara-cara sosialis yang terbilang sebagai isu yang sensitif di negara adidaya tersebut.
Masalah di atas adalah salah satu gambaran bagaimana dalam memuluskan langkahnya, para kandidat Presiden AS sering saling sikut di layar kaca. Namun, ketika salah satu kandidat menang, kandidat lain secara legawa mengucapkan selamat. Seakan mereka melupakan masa ketika saling "tikam" di panggung politik.
"Nah, ini hal yang sudah sangat wajar di sana," ungkap Effendi di sela-sela diskusi publik "Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak Politik" yang diselenggarakan Aspaskom Universitas Indonesia dan Departemen Komunikasi dan Informatika pekan lalu di Jakarta.
Sementara di Indonesia, saling serang dalam iklan masih dianggap tabu. Tidak jarang iklan politik yang menyinggung kubu lain dimaknai sebagai upaya mencemarkan nama baik.Namun fenomena demikian kini mulai merebak, terlebih Pemilu 2009 semakin dekat.Bahkan ada juga yang beranggapan, iklan menyerang itu sangat mungkin lebih banyak ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Maklum, dia berposisi sebagai incumbent, ditambah lagi beberapa survei menunjukkan popularitasnya masih di atas angin. Maka, besar kemungkinan iklan yang berbau kritik terhadap kebijakan pemerintah akan sering muncul. Setidaknya, sejumlah calon berupaya memengaruhi publik untuk tidak memilih SBY.
Menanggapi hal ini, Ketua Bidang Politik DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengungkapkan, kritik terhadap partainya dan SBY merupakan hal yang wajar. Pasalnya, sebagai incumbent, tentu saja Partai Demokrat mempunyai dua posisi yang bertolak belakang.
"Konsekuensi incumbent memang diserang penantang. Itu lumrah saja. Namun di lain sisi kami bisa mengklaim keberhasilan program-program pemerintah saat ini sebagai keberhasilan kami," ungkapnya.
Oleh karenanya, dia tidak akan mempermasalahkan jika ke depan banyak iklan yang memosisikan partainya sebagai sasaran tembak. Namun, tentu saja, kritik tersebut harus dilakukan sesuai etika politik. Artinya data yang disampaikan untuk "menjatuhkan" citra partainya haruslah mempunyai tingkat akurasi tinggi.
Dalam diskusi yang dilaksanakan di Hotel Sari Pan Pasific, Rabu (19/11), Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mengingatkan agar partai maupun masyarakat lebih selektif melihat iklan politik yang muncul.
Masyarakat harus dewasa jika kandidat atau partai pilihannya diserang melalui iklan yang ditampilkan kubu lawan. "Misalnya, Hanura harus menyikapi secara dewasa ketika muncul iklan yang berbunyi, 'Gimana mau jadi presiden, jadi pangdam saja gagal?'," ungkap pria yang dijuluki RM 09 ini.
Kini, faktanya layar kaca menjadi media baru guna memperkenalkan platform partai, calon anggota legislatif hingga calon presiden pada 2009.
Pasalnya, media massa (khususnya televisi) dianggap sebagai alat efektif dan efisien untuk berkomunikasi secara politis antara partai atau tokoh dengan konstituennya. Di samping itu, dalam berkomunikasi, bujet untuk media massa (iklan) dinilai lebih murah dan aman dibandingkan berkampanye dengan pengerahan massa. Itu sebabnya, masyarakat ke depan akan lebih sering melihat manuver-manuver partai lewat iklan politik.
Namun, sebagai objek politik, masyarakat diharapkan mampu menyaring iklan secara lebih cermat. Setidaknya, masyarakat harus lebih cerdas dalam memilah, mana iklan yang menawarkan produk yang bagus dengan iklan yang hanya berisi bualan. Sebab, tidak jarang produk yang diiklankan tidak sebagus aslinya. Terpenting, masyarakat jangan lagi menjadi korban iklan.
(Nurfajri Budi Nugroho)