Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement
Jusman Dalle

Mencegah Konflik Kultural dan Struktural

Mencegah Konflik Kultural dan Struktural
A
A
A

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meradang lagi. Belum hilang trauma konflik tahun 1999-2004 yang menyebabkan korban nyawa, kerugian sosial dan ekonomi, pada Minggu (11/9/2011) silam, Ambon kembali tersulut api konflik horizontal.

Hanya berselang empat hari, kekerasan yang juga mengarah pada konflik etnis kembali terjadi di tempat berbeda, yaitu di Kota Makassar. Kejadian bermula ketika seorang pemuda mabuk yang belakangan diketahui berasal dari etnis minoritas di Makassar, melakukan penusukan secara membabibuta. Aksi tersebut menyebabkan tiga korban tewas, dan beberapa orang lainnya luka-luka.
Pada malam harinya, keluarga korban melakukan razia rasial yang ditujukan pada teman-teman tersangka dari etnis yang sama. Bahkan pada Kamis (15/9/2011) subuh, terjadi penusukan yang diduga sebagai aksi balas dendam dari keluarga korban. Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, maka kekhawatiran berlebihan tentu hal yang wajar.
 
Mengingat potensi konflik begitu cepat meluas ketika bersentuhan dengan isu suku, agama, ras dan golongan (SARA). Isu yang sangat sensitif bagi negara plural seperti Indonesia. Isu yang dengan mudah dimanfaatkan oleh provokator untuk berselancar dan meraup keuntungan dari konflik tersebut.
Oleh karena rentan terhadap potensi konflik dan bisa meledak kapan saja, maka kita membaca dan menalar koflik sebagai problem serius yang harus diselesaikan secara komprehensif. Keberadaan konflik sebenarnya seumur dengan peradaban manusia. Jika dilacak akar sejarahnya, koflik telah terjadi pada generasi ke dua manusia, yaitu ketika dua anak Adam As yang bernama Qabil berseteru dengan saudaranya, Habil. Konflik dua saudara ini kemudian berakhir dengan pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Latar belakangnya karena kecemburuan sosial.

Konflik memiliki definisi beragam karena beragamnya latar belakang dan perspektif. Tapi pada dasarnya, ada satu benang merah yang menjadi kesimpulan bersama para ahli tentang konflik. Yaitu ketika terjadi disharmoni di antara elemen-elemen yang ada, baik dalam skala individu maupun kelompok.

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara berterusan. Dari perspektif behavioural, Muchlas (1999) menyebut konflik sebagai akibat dari terjadinya minteraktif individu atau kelompok sosial.

Secara lebih gamblang, Fritjof Chapra (1997) di dalam bukunya The Turning Point, menyebut konflik sebagai “patologi peradaban”. Menurut Chapra, patologi peradaban ini  terjadi sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya.

Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad untuk tetap survive.

Bagi sejarawan Arnold Toynbee, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi sebagai cara sebuah peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya,  mencari titik equilibrum. Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci. Struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan konflik, merupakan indikasi adanya proses transformasi tersebut.

Akan tetapi, akibat dari hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikultural, maka keruntuhan budaya sangat rentan terjadi. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial dan pola perilaku masyarakat yang kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Sedangkan Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah, melihat jika konflik merupakan akibat dari pergeseran solidaritas kebangsaan menjadi keping-keping solidaritas etnik, agama, ataupun budaya.

Dalam praksis dialektika kontemporer, konflik juga tak lepas dari arus globalisasi yang terjadi begitu derasnya sehingga menyebabkan erosi dan shock budaya. Arus informasi yang menyerang dari berbagai lini kehidupan, melahirkan budaya baru. Anak bangsa kehilangan jati diri akibat adanya polarisasi nilai-nilai luhur dan kearifan budaya lokal yang terkontaminasi oleh budaya asing tersebut. Akhirnya terjadi friksi sosial budaya yang melahirkan dua kelompok masyarakat  (masyarakat konservatif dan masyarakat akomodatif tanpa reserve) tidak rukun.

Konflik Politik

Dilihat dari strukturnya, ada dua model konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal biasanya bersifat elitis dan politis. Sedang konflik horizontal lebih pada latar belakang kultural, suku, agama, ras dan golongan (SARA) dan ekonomi.

Di Indonesia, konflik memiliki sejarah yang panjang. Konflik vertikal terjadi sejak awal kemerdekaan, yaitu masa pemerintahan Presiden Soekarno. Terjadi perebutan pengaruh sosialsme-komunisme vis a vis dengan kekuatan kapitalistime. Ir Soekarno yang mengidentifiaksi diri sebagai representasi sosialisme dengan terminologi yang dilokalkan, yaitu marhaenisme, terlibat konfrontasi politik dengan kekuatan kapitalisme yang membonceng pada militer (TNI).  Upaya Ir Soekarno untuk mengakomodir segala kepentingan politik yang ada pada masa itu, dengan melahirkan faham Nasakom (nasionalis, agama, komunis), tidak mampu meredam sekam konflik yang telah disulut berbagai kepentingan.

Puncak konflik politik tingkat elit tersebut berakhir dengan kudeta sunyi pada Maret 1966. Jenderal Soeharto yang lebih merepresentasikan diri sebagai kendali Barat, berhasil melakukan takeover kekuasaan melalui peristiwa misterius yang kita kenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Tak hanya di pusat, masa pemerintahan Ir Soaekarno juga diwarnai konflik politik yang terjadi di daerah-daerah. Diantaranya yaitu pada tahun 1950, atau lima tahun pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI, Republik Maluku Selatan (RMS) memproklamirkan diri dengan maksud berpisah dari NKRI. Selain RMS, di Papua juga berdiri Organiasi Papua Merdeka  (OPM) pada tahun 1965 dengan tujuan yang sama, yaitu memisahkan diri dari NKRI. OPM hingga kini juga tak pernah bisa dihentikan oleh pemerintah.

Saat rezim Soeharto berkuasa, konflik tak berhenti.  Muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun. Organisasi (dianggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh lepas dari NKRI. Konflik di Aceh terjadi sejak 1976 hingga tahun 2005 dan menyebabkan korban jiwa hampir 15.000 orang.

Masa yang paling kelam dalam sejarah panjang konflik di Indonesia, terjadi pasca Reformasi tahun 1998. Terjadi ledakan konflik horizontal bernuansa SARA, diantaranya konflik Poso, konflik Ambon tahun 1999, konflik Dayak-Madura di Kalimantan, konflik etnik di Tarakan serta konflik (vertikal) GAM hingga tahun 2005 (berawal sejak 1976). Energi pemerintah mau tidak mau harus dikerahkan untuk meredam hingga recovery pasca konflik.

Tak dapat dinafikan, jika konflik mempengaruhi NKRI secara keseluruhan. Baik kerugian karena modal integrasi sosial yang menjadi mudah retak akibat mudahnya masyarakat tersulut provokasi, maupun kerugian ekonomi karena sumber dana untuk menyelesaikan akibat yang ditimbulkan konflik tersebut.    

Berbeda dengan sejarah masa lalu, ketika kemajemukan bangsa Indonesia justru menjadi energi kolektif dan modal perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Kini, karena lemahnya daya kelola kemajemukan, maka ia menjadi momok. Oleh karenanya, nilai-nilai luhur dan pluralitas yang terkandung dalam Pancasila yang dapat merekatkan masyarakat dari semua golongan baik suku, agama, maupun afiliasi politik tanpa pandang status sosial, harus dire-internalisasi.

Konflik karena disparitas kultural –seperti yang terjadi di Ambon dan Makassar-, sebagaimana banyak terjadi di Indonesia yang multikultural ini, maka langkah preventif (pencegahannya) konflik juga dilakukan melalui pendekatan kultural. Dalam hal ini dengan melibatkan pranata-pranata kultural yang memiliki soft power dalam melakukan afirmasi damai kepada khalayak. Misalnya tokoh agama, tokoh adat atau pemuka masyarakat lainnya.

Pun ketika yang terjadi adalah konflik struktural yang politis, maka penyelesaiannnya juga dengan pendekatan politis-struktural, seperti konflik GAM dengan NKRI yang berakhir damai di meja perundingan dengan konsensus politik antara kedua fihak. Termasuk juga konflik karena disparitas ekonomi, maka pemerintah juga bertanggungjawab menyelesaikannya atau bahkan mencegahnya dengan menciptakan kesejahteraaan dan keadilan.

Jusman Dalle
Analis di  Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

(M Budi Santosa)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement