JAKARTA - Wacana tes keperawanan sebagai syarat masuk sekolah menjadi masalah besar. Terutama karena ketidakjelasan maksud dan relevansi tes keperawanan terhadap siswi perempuan dengan pendidikan.
Pasalnya, dalam Undang-Undang Pendidikan disebutkan, setiap warga negara mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan dan hak tersebut tidak dapat dikurangi atas dasar apapun. Demikian diungkapkan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari Rachman saat pernyataan pers bersama Koalisi Pendidikan di Kantor ICW.
"Padahal hak atas pendidikan diatur secara jelas dalam pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, begitu pula dalam pasal 12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebegitu mendasarnya hak untuk memperoleh pendidikan, hingga hak itu diatur dalam konstitusi sebagai hak konstitusi warga negara. Hak atas pendidikan ini tidak dapat dikurangi atas dasar apapun," kata Tari di Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Rabu (21/8/2013).
Selain itu, lanjutnya, menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
"Tes keperawanan juga tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1. Serta pasal 5 ayat 5, yaitu setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat," jelasnya.
Dia menegaskan, tes keperawanan ini tidak ada kaitannya dengan Undang-Undang Pendidikan maupun dalam dunia pendidikan. Tari menilai, tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi.
"Menurut kami wacana ini tidak mempunyai dasar dan tidak jelas. Kalau kita lihat Undang-Undang Pendidikan, prinsipnya harus adil dan tes keperawanan ini bentuk diskriminasi," tutur Tari.
Kebijakan ini, tambahnya, mempengaruhi anggaran APBD, dalam hal ini Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Anggaran tersebut harusnya tidak digunakan untuk tes keperawanan yang tidak ada relevansinya di dunia pendidikan.
"Penggunaan anggaran ini menjadi indikasi dan ujung-ujungnya tidak transparan atau dikorupsi. Jika Disdik Prabumulih menerapkan tes keperawanan ini, maka kami akan mengajukan surat permintaan informasi anggaran secara detail," sambungnya.
Tari menyebut, korupsi yang sudah merajalela di sektor pendidikan walaupun kecil besar kemungkinan akan terjadi lagi seperti proyek tes keperawanan ini yang tidak jelas dan tidak ada relevansinya. Sebab jika melihat anggaran, tes keperawanan tidak menjadi akses yang baik.
"Korupsi kecil seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu dilakukan hampir di semua kabupaten. Kami mengkhawatirkan ada kebijakan yang tidak jelas dasarnya, masyarakat juga tidak tahu. Oleh karena itu kalau anggaran dialokasikan, akan menjadi pemborosan dan tidak jelas, tidak perlu dan tidak ada relevansinya," tutup Tari.
(Margaret Puspitarini)