JAKARTA - Banyak yang menganggap kontroversi Surat Perintah 11 Maret (1966) atau yang biasa dikenal sebagai “Supersemar” masih misteri. Tapi tak jarang pula yang menyatakan isu periode transisi dari presiden pertama, Soekarno ke Presiden RI kedua, Soeharto sudah tak perlu jadi perdebatan.
Bukan semata-mata mengungkit, tapi mengenang 49 tahun lahirnya Supersemar itu dirasa perlu sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia.
Menurut Sejarawan Anhar Gonggong, Supersemar sudah jadi isu yang lalu dan tak perlu lagi diumbar kontroversinya.
“Apa lagi yang mau dicari? Supersemar itu kan yang menyimpan Pak Harto. Yang di ANRI itu sudah dijelaskan ketiga (versinya) palsu. Supersemar itu jimat kekuasaannya Pak Harto, jadi mana mungkin dia mau menyerahkannya ke orang lain,” ungkap Anhar ketika dihubungi Okezone.
“Peristiwa itu disebutkan seolah-olah Pak Harto melakukan kudeta. Ya itu kan permainan politik. Pak Karno juga bermain politik ketika mengeluarkan dekrit (5 Juli 1959) secara inkonstitusional. Itu bisa dilakukan tanpa cara konstitusional karena dia punya dukungan,” tambahnya.
Jadi menurut Anhar, jika ada yang masih ingin mencari keberadaan Supersemar yang asli hanya akan jadi upaya yang sia-sia. Peristiwa transisi besar itu sudah terjadi dan tak perlu ada yang menggugat atau digugat.
“Supersemar sudah selesai. Soekarno sudah tidak ada (meninggal), Soeharto (juga) sudah tidak ada. Keduanya bermain politik dan yang namanya main politik, takkan ada yang lurus,” tuntas Anhar.
(Misbahol Munir)