BERULANG kali pemerintah Indonesia meminta “si tukang jagal” Kapten Raymond Westerling, untuk diekstradisi ke Indonesia, guna kemudian diseret ke muka pengadilan. Seandainya itu terjadi, leher Westerling mungkin takkan pernah selamat dari tali gantungan.
Tapi berulang kali pula permintaan pemerintah Indonesia ditanggapi dingin, baik oleh pemerintah Singapura maupun Belanda. Ya, usai melancarkan sejumlah aksi keji di Indonesia semasa menjabat pangkat Kapten di kesatuan Korps Speciale Troepen (pasukan elite Belanda), Westerling sukses kabur ke Singapura, kemudian pulang ke Belanda.
Westerling mampu kabur ke Singapura dengan bantuan para anggota Pao An Tui (milisi Tionghoa pro-Belanda). Namun di Singapura, Westerling ditangkap Polisi Inggris dan dibawa ke Pengadilan Tinggi Singapura. Di saat itu pertama kalinya Indonesia minta Westerling diekstradisi dari Singapura yang sayangnya tak digubris.
Pengadilan Tinggi Singapura pada 15 Agustus 1950 menyatakan, Westerling yang masih memegang kewarganegaraan Belanda, tak bisa diekstradisi ke Indonesia, melainkan mereka akan menyerahkannya ke pengadilan di Belanda.
Mendengar kabar itu, pemerintah Indonesia belum patah arang untuk minta pemerintah Belanda mengekstradisinya ke Indonesia, pada 12 Mei 63 tahun silam (1952).
Sebuah permintaan kembali kandas dan tak dikabulkan Mahkamah Agung Belanda. Westerling sendiri diseret ke pengadilan, tapi justru dibebaskan sehari setelahnya. Terlepas dari rekam jejaknya sebagai penjagal di Sulawesi dan Bandung (Pembantaian APRA - Angkatan Perang Ratu Adil), Westerling dianggap pahlawan oleh sejumlah orang Belanda.
Tragedi APRA
Pun begitu, tak sedikit pula yang mengecamnya sebagai penjagal. Di sisi lain, Westerling sering menghadiri pertemuan untuk membeberkan pengalamannya di Indonesia, termasuk ketika menghina Presiden Soekarno, sebagaimana dikutip dalam buku ‘Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen’.
“Orang Belanda sangat perhitungan. Satu peluru harganya 35 sen. Soekarno harganya tak sampai 5 sen. Berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan,” papar Westerling ketika ditanya mengapa dirinya tak menembak Soekarno semasa bertugas di Indonesia.
Sosok Westerling sedianya jadi salah satu “anak emas” Panglima Tertinggi Belanda di Indonesia, Jenderal Simon Hendrik Spoor. Tapi karena metodenya di masa revolusi dianggap brutal, sejumlah media Belanda dan bahkan para kompatriotnya di kesatuan lain mengecam Westerling.
Dibanjiri beragam laporan soal kelakuan Westerling, Jenderal Spoor akhirnya menonaktifkan Westerling dan tak lama kemudian memecatnya.
Surat kabar “De Waarheid” pada Juli 1947 pernah memaparkan soal kebengisan Westerling yang disamakan dengan kejamnya tentara dan Gestapo (polisi rahasia) Jerman pada era Perang Dunia II.
Pun begitu dengan surat kabar “Vrij Nederland” di bulan dan tahun yang sama, ketika menjabarkan bagaimana Westerling acap mengadu tawanannya untuk bertarung, lalu yang kalah ‘didor’.
Westerling juga ‘hobi’ menembak rakyat sipil tanpa alasan, hanya untuk meninggalkan trauma dengan tujuan agar mau buka mulut soal persembunyian gerilyawan. Westerling sendiri saat ini sudah tujuh kaki di bawah tanah alias meninggal.
Akan tetapi, beberapa usaha para keluarga korban pembantaiannya di Sulawesi untuk mencari keadilan masih terus berjalan. Westerling sempat hidup tenang dengan istrinya keturunan Prancis-Indonesia, Yvonne Fournier di Friesland.
Dia menghabiskan hidupnya belajar olah vokal di Konservatorium Amsterdam, serta menjalankan bisnis toko buku antic. Westerling menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung di Purmerend (Belanda), 26 November 1987.
(Randy Wirayudha)