JAKARTA - Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman, angkat bicara mengenai peristiwa pembakaran rumah ibadah di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, saat masyarakat muslim di sana hendak melangsungkan Salat Idul Fitri 1436 Hijriah pada Jumat 17 Juli 2015.
"Sejak 17 Juli 2015 malam, saya mengikuti berbagai pemberitaan di media massa yang terkesan menyudutkan pihak gereja. Maka dalam kesempatan ini saya perlu menegaskan atau menyampaikan beberapa hal agar dapat dipahami oleh seluruh warga Indonesia," ujarnya.
Berikut dalam pernyataan Pdt Dorman dalam keterangan tertulis yang diterima Okezone di Jakarta, Minggu (19/7/2015):
Pertama, tidak benar pemuda gereja GIDI, masyarakat Tolikara, dan umat Kristiani melarang umat Islam untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri (Salat Id), namun harus mematuhi surat pemberitahuaan yang telah dilayangkan pemuda gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan; yakni tidak menggunakan penggeras suara (toa), apalagi jarak antar pengeras suara dengan tempat dilangsungkannya seminar nasional/internasional hanya berjarak sekitar 250 meter.
Kedua, pimpinan gereja wilayah Kabupaten Tolikara, Presiden GIDI, Bupati Kabupaten Tolikara, Usman Wanimbo, dan tokoh masyarakat setempat telah menyampaikan maksud pemuda GIDI (Ibadah tidak menggunakan penggeras suara) sejak dua minggu sebelum hari “H” kegiatan seminar dan Hari Raya Idul fitri. Kami menilai, aparat keamanan TNI dan Polri di Kabupaten Tolikara tidak punya itikad baik untuk menjaga keamanan dan ketertibatan masyarakat Tolikara, termasuk umat muslim sendiri.
"Kami sangat menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia," terangnya.
Ketiga, yang sangat disayangkan, 12 pemuda tertembak timah panas aparat TNI/Polri saat dalam perjalanan ke musala untuk berdiskusi dengan warga setempat. Satu di antaranya, remaja 15 tahun bernama Endi Wanimbo meninggal dunia. Belum sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 12 orang tertembak.
"Jadi amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat muslim, tapi lebih karena tindakan dan perlakukan aparat TNI/Polri, yang tidak membuka ruang demokrasi atau untuk mendiskusikan hal-hal yang baik bagi keberlangsungan ibadah kedua belah pihak," tambahnya.
Keempat, tidak benar masyarakat Tolikara, atau warga gereja GIDI melakukan pembakaran terhadap musala, namun hanya beberapa kios yang dibakar pemuda, dan merembet hingga membakar musala karena dibangun menggunakan kayu, dan berhimpit-himpit dengan kios dan rumah milik warga Papua maupun non-Papua.
"Tindakan spontan yang dilakukan beberapa pemuda membakar beberapa kios ini muncul karena ulah aparat keamanan yang tak bisa menggunakan pendekatan persuasif, tapi menggunakan senjata dan peluru untuk melumpuhkan para pemuda tersebut. Kami minta Kapolri dan Panglima TNI mengusut tuntas penembakan warga sipil oleh aparat keamanan yang menyebabkan 1 orang meninggal dunia dan 11 orang terluka," terangnya.
Kelima, saya sebagai pimpinan tertinggi gereja GIDI di seluruh Indonesia, telah menasehati umat saya agar tidak melarang umat apapun, termasuk saudara muslim untuk melangsungkan ibadah, namun ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah tersebut, dan juga mematuhi surat atau himbauan yang dikeluarkan, demi keamanan, ketertibatan, dan ketentraman masyarakat setempat.
Keenam, yang datang mengikuti ibadah/seminar internasional di Kabupaten Tolikara bukan hanya warga GIDI di wilayah tanah Papua, tapi dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia, antara lain pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan diperkikran mencapai 2.000 orang pemuda GIDI.
Ketujuh, sebagai presiden GIDI, kami menyampaikan permohonan maaf kepada warga muslim di Indonesia, secara khusus di Kabupaten Tolikara atas pembakaran kios-kios yang menyebabkan musala (rumah ibadah warga muslim) ikut terbakar. Aksi ini merupakan spontanitas masyarakat Tolikara karena ulah aparat keamanan di Tolikara yang melakukan penembakan secara brutal.
Kedelapan, Kapolri dan Panglima TNI juga harus mengusut tuntas insiden penembakan terhadap 12 warga gereja, yang menyebabkan satu anak usia sekolah meninggal dunia. Ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena menggunakan alat negara untuk menghadapi pemuda-pemuda usia sekolah yang tak datang untuk melakukan perlawanan atau peperangan.
(Risna Nur Rahayu)