Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Hidupkan Pasal Penghinaan, Jokowi Takut Di-Bully Rakyatnya

Raiza Andini , Jurnalis-Selasa, 04 Agustus 2015 |07:02 WIB
Hidupkan Pasal Penghinaan, Jokowi Takut Di-<i>Bully</i> Rakyatnya
Presiden Jokowi: Foto Okezone
A
A
A

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada Komisi III DPR RI untuk dapat mengesahkan pasal penghinaan yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bersama dengan 785 pasal lainnya.

Menanggapi hal tersebut praktisi hukum yang memperjuangkan dihapusnya pasal penghinaan, Eggi Sudjana mengatakan, pasal tentang Penghinaan Presiden itu adalah warisan belanda yang kemudian masuk ke Indonesia.

"Kemudian diresmikan pada tahun 1918 sebagai hukum nasional. Ini kan berarti cara pandang hukum pemerintahan Jokowi mundur 200 tahun seperti zaman penjajahan," tegas Eggi ketika berbincang kepada Okezone, Selasa (4/8/2015).

Menurut Eggi,  pasal penghinaan terhadap Presiden tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap. "Dalam hukum terdapat azas legalitas.  Dalam perkembangan masyarakat hukum itu harus terus dinamis. Kita malah mundur maka ini tidak dinamis," tambahnya.

Dia menambahkan, Jokowi keliru jika memaksakan untuk memunculkan pasal tersebut. Karena hal itu sangat bertentangan dengan azas hukum yang berlaku di Indonesia. "Ini bertentangan historis azas hukum, bertentangan yuridis dan filosofis Indonesia," jelasnya.

Eggi menambahkan, jika Presiden Jokowi tetap ngotot meminta Komisi III DPR RI untuk mengesahkan pasal tersebut, maka selama menjabat sebagai Presiden, ia sadar dan ketakutan di-bully rakyatnya sendiri.

"Jokowi menyadari betul banyak kesalahan yang dilakukan, jadi dia mendesak DPR untuk mengesahkan tugas DPR seharusnya menolak karena pasal tersebut tidak kuat dan tidak mengikat,"pungkasnya.

Pertemuan Jokowi dan Habibie

Sekedar diketahui, pada 4 Desember 2006 silam, MK melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wapres dalam KUHP. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.

Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir. Namun, pada pemerintahan Jokowi pasal tersebut kembali menguak dan telah diajukan kepada Komisi III DPR RI melalui Menkumham Yasonna Laoly.

(Fahmi Firdaus )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement