Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna menilai, bentrokan tersebut terjadi karena warga Kampung Pulo gamang, lantaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mewajibkan warga membayar uang sewa dari rusun itu per bulan Rp300 ribu.
"Yang menjadi persoalan konflik adalah, warga masih gamang karena rumah mereka tidak dihargai, dan pindah ke tempat baru setiap bulannya harus bayar sewa," ujar Yayat kepada Okezone, Sabtu (22/8/2015).
Yayat mengatakan, para warga tersebut juga takut setelah tinggal di rusun tersebut karena akan banyak pungutan biaya.
"Ini kan nanti kalau disana (rusun) akan banyak embel-embel uang pungutan, uang keamanan, uang kebersihan, bayar air, dan uang-uang lainnya," katanya.

Warga juga melihat rusun tersebut tidak akan menjanjikan penghasilan, karena warga disana umumnya buka rumah makan kecil-kecilan di pinggir jalan, dan bengkel.
"Kalau nanti disana jauh dari pinggir jalan, mereka enggak akan bisa buat apa-apa, buat warung juga sulit, kan letaknya di dalam rumah susun. Makanya mereka binggung takut penghasilanya menghilang," ungkapnya.
Menurut Yayat, Pemprov DKI salah, lantaran setiap bulan menarik iuran pajak dari warga Kampung Pulo tersebut. Padahal, tanah itu milik negara. Untuk itu, dia meminta pajak yang dibayarkan sebaiknya dikembalikan untuk menganti rugi pengusuran tersebut.
"Karena dia bayar pajak, dan pajaknya kepada negara dan negara menerima pajak dari mereka yang ilegal," pungkasnya.
Sebelum melakukan penggusuran secara paksa, Pemprov DKI sudah beberapa kali bernegosiasi dengan warga, namun, masih saja ada penolakan. Warga yang menolak umumnya mendirikan bangunan di atas tanah negara dan tidak mau direlokasi ke rusun.
Mengetahui penolakan tersebut tidak akan selesai pihak Pemprov DKI pun akhirnya melakukan penggusuran secara paksa. Hingga akhirnya berujung bentrok dengan warga Kampung Pulo.
(Arief Setyadi )