"Setelah ada protes ini, kepala desa mengumpulkan warga. Dan saat itu, kepala desa menyatakan bahwa penambangan pasir ini adalah bentuk optimalisasi kawasan Wisata Watu Pecah. Nah, dari pertemuan itu warga menerima jika untuk pengembangan pariwisata," jelasnya.
Kepala desa waktu itu berdalih, bahwa pasir yang ada di kawasan itu dikeruk dan diratakan agar pengembangan pariwisata watu pecah berjalan lancar. Rupanya, alasan pengembangan pariwisata watu pecah hanya kedok belaka. Hingga tahun 2015 pengerukkan pasir tidak berhenti dan semakin menjadi-jadi. Bahkan, meninggalkan kubangan-kubangan dan merusak lingkungan.
"Protes pun mulai diajukan lagi. Melalui forum tersebut warga melayangkan protes kemana-mana bahkan hingga ke Bupati Lumajang. Lagi-lagi protes itu tidak digubris. Saat warga meminta audensi dengan Bupati Lumajang malah diwakili oleh Camat Pasirian," jelasnya.
Puncaknya, pihak yang pro dengan penambangan pasir ilegal ini melakukan teror dengan membatai dua orang aktivis petani yakni Salim Kancil dan Tosan. Dua orang ini dianggap sebagai otak penolakan penambangan pasir sehingga harus dihabisi.
Akibat pembantaian itu, Salim Kancil tewas dan Tosan mengalami luka berat harus dirawat di rumah sakit.
(Fahmi Firdaus )