JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Malik Haramain mengatakan, saat ini pihaknya tengah menggodok revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji. Revisi tersebut ditempuh untuk mengurangi antrean jamaah haji yang setiap tahun menumpuk.
Menurut Malik, revisi dilakukan bukan berarti pemerintah mengharamkan orang untuk pergi haji berkali-kali. Mengingat yang perlu dilakukan adalah membentuk instrumen pengelolaan ibadah haji yang benar.
"Kami berpikir undang-undang itu untuk mengurangi antrean. Tapi tidak perlu sampai mengharamkan orang haji berkali-kali. Yang perlu diatur bagaimana pemerintah mengelola jamaah haji Indonesia agar mendapatkan kesempatan yang luas," kata Malik di DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Kamis (1/10/2015).
Upaya untuk membatasi antrean tersebut, kata Malik, dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas orang yang sudah naik haji. Misalkan, tidak boleh naik haji lebih dari satu kali setiap lima tahun.
"Kita coba membatasi orang haji berkali-kali. Bisa saja naik haji tahun ini, dia boleh naik haji lima tahun mendatang. Jadi kita akan coba membatas haji berkali-kali," ujarnya.
Malik menambahkan, penumpukan terjadi karena kuota jamaah haji Indonesia dikurangi akibat perluasan Masjidil Haram, begitu pun dengan kuota haji jamaah negara lain. Bahkan, sejak 2005 sampai 2012 Indonesia diberi kuota sebanyak 200 ribu jamaah lebih. Kemudian 2013 berkurang menjadi 168 ribu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lalu berupaya melobi pemerintah Arab Saudi untuk menambah kuota tersebut dan dikabulkan sebanyak 20 ribu. Jadi mulai 2016 kuota jamaah haji Indonesia menjadi 188 ribu.
Malik mengakui perlu adanya komunikasi yang intensif antara pemerintah Arab Saudi dengan negara-negara peserta haji, termasuk Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan pengirim jamaah haji terbanyak sampai saat ini. Sehingga sudah sepatutnya diberikan ruang untuk komunikasi, termasuk dalam hal investigasi penyebab terjadinya Tragedi Mina.
"Indonesia saat ini pengirim jamaah terbesar. Pemerintah Saudi seharusnya mengajak negara-negara itu untuk melakukan investigasi. Kita juga mendesak bersama-sama membicarakan sistem pegamanan dan pengelolaan jamaah itu lebih baik baik. Karena sejak 1975 sampai 2015 peristiwa terjadi antara Mina Jembatan Jamarat, bukan tempat lain. Artinya insiden itu terjadi saat jamaah bergerak dalam jumlah sangat besar," ujarnya.
Untuk mengantisipasi adanya insiden semacam ini terulang, sambung Malik, jamaah haji wajib diberikan pembinaan tentang pengamanan diri sendiri, sehingga kehilangan nyawa dapat diminimalisir.
"Mungkin kita juga perlu kerjasama dengan BNPB. Jadi (para jamaah) tidak hanya mampu beribadah tapi juga mengelola dirinya," pungkasnya.
(Arief Setyadi )