MOSKVA – Lima tahun pasca-kudeta berdarah pada Februari 2011 yang disokong intervensi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Libya dianggap tak lagi punya masa depan yang independen.
Anggapan itu datang dari Ahmed Khadafi al-Dam, mantan jenderal yang juga sepupu mendiang pemimpin Libya, Muammar Khadafi, di mana kini Libya disebut sebagai negara boneka yang “menghamba” pada NATO.
Libya, negara yang dulunya diklaim Al-Dam, merupakan negara makmur dan paling maju di Afrika, kini luluh lantak dan pemerintahannya sekarang, dijalankan para teroris dan mafia yang “disetir” negara-negara barat.
“Dulu Libya jadi salah satu negara yang memimpin Afrika dan punya reputasi internasional yang solid. Setelah kudeta, Libya menjadi budak dan dipermalukan,” sebut Al-Dam dalam wawancaranya dengan Russia Today yang disitat Sputnik, Jumat (19/2/2016).
“Kini masa depan (Libya) ada di tangan pihak asing. Kami melewati masa-masa penuh luka, air mata, kematian di mana-mana dan kehilangan moral. Sekarang setelah lima tahun, kita menyaksikan hasil dari revolusi yang didukung NATO,” tambahnya.
Kekerasan meningkat dan kematian warga sipil terjadi di mana-mana. Sementara kala revolusi itu pecah pada 2011 lalu, Khadafi diklaim tak punya kekuatan untuk melawan, karena kekuatan negara ada di tangan rakyat yang diwakili kongres dan komite-komite sipil.
“Tidak ada diktator atau tirani di Libya. Rakyat-lah yang mampu mengubah semua hal yang tak mereka sukai. Mereka punya dana dan senjata. Sekarang Libya disulap jadi tempat persemaian mafia global yang bersekongkol.,” sambung Al-Dam lagi.
“Para teroris keluar-masuk Libya dengan pesawat yang dilindungi barat. Pesawat-pesawat tempur dan misil-misil barat melindungi mereka yang datang ke Libya pada 2011, mengaku sebagai para muslim sejati,” tuntasnya.
(Randy Wirayudha)