JAKARTA - Mantan Presiden Soeharto menyebut peristiwa 11 Maret 1966 sebagai perintah menegakkan wibawa pemerintahan. Namun, sejarahwan Asvi Warman Adam menyangsikan klaim tersebut. Terlebih di masa itu, tidak ada mesin fotocopy, dan salinan surat perintah 11 Maret 19166 (Supersemar) diragukan.
"Ada perdebatan dan dibantah Soeharto, dikatakan Supersemar ini cuma menegakkan wibawa pemerintah.
Pada zaman itu belum ada mesin fotocopy," ujar Asvi saat ditemui di Jalan Wijaya III, Jakarta Selatan, Jumat (11/3/2016).
Ketika teks asli Supersemar digandakan, lanjut Asvi, terdapat kemungkinan adanya penyembunyian sejarah. Selanjutnya, dari keterangan istri sang proklamator asal Jepang, Dewi Soekarno pernah bermain golf dengan Soeharto. Mulanya, Dewi sempat menganggap Supersemar sebagai perintah pengamanan. Namun, dari pilihan yang diberikan Soeharto, ia mengetahui bahwa suaminya telah kalah.
"Digandakan saat itu, diketik ulang (stensil), sangat mungkin dua halaman jadi satu halaman, dan tanda tangan Soekarno berubah. Bagi orang di sekeliling Soeharto, Supersemar pelimpahan kekuasaan. Dewi Soekarno aktif mencoba melakukan rekonsiliasi, menghubungi istri Nasution, Yani. Ketika itu ia menganggap Supersemar hanya perintah pengamanan," imbuhnya.
Belakangan, Dewi lanjut Asvi, mendapat tiga pilihan dari Soeharto. Pertama, agar Soekarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Lalu bapak pembangunan mempersilakan Soekarno untuk beristirahat ke Tokyo.
"Tapi Dewi sempat main golf pada April 1966, Soeharto menawarkan melalui Dewi supaya menyerahkan saja pemerintahan ke Soeharto. Lalu beristirahat ke Tokyo. Dan ketiga istirahat ke Makkah," tukasnya. (sus)
(Muhammad Saifullah )