OSLO – Kemunculan pertama Anders Breivik (37) setelah sidang percobaannya pada 2012, ditandai dengan menirukan hormat ala Nazi. Dalam sidang terbaru yang diadakan di ruang olahraga penjaranya yang diubah menjadi lokasi persidangan, pembunuh massal di Norwegia itu menuntut hak asasinya sebagai manusia (HAM) di penjara.
“Saya mau protes, kenapa hanya ibu saya yang boleh mengunjungi saya di penjara? Itu juga hanya sekadar untuk pelukan singkat, sebelum ia meninggal karena kanker pada 2013. Saya adalah korban pelanggaran HAM di sini,” tukasnya, sebagaimana disunting dari Metro, Selasa (15/3/2016).
Breivik merengek bahwa dirinya diperlakukan secara tidak manusiawi untuk menjalani 21 tahun masa hukumannya di balik jeruji besi. Padahal, dia memiliki tiga ruang gerak selama di Penjara Skien di Oslo.
Masing-masing satu ruang untuk kebutuhan biologis seperti mandi, belajar dan latihan. Ia diperbolehkan ke lapangan untuk berolahraga dan menghirup udara segar.

Kamarnya bahkan dilengkapi sejumlah fasilitas hiburan, macam televisi, komputer dan Playstation (PS), tepat di samping tempat tidurnya. Meski tanpa akses internet. Namun begitu, memang komunikasinya terbatas hanya kepada para sipir dan petugas medisnya.
“Kalau saya mengunjunginya pun, kami hanya diizinkan berbicara melalui kaca,” ujar pengacaranya, Oeystein Storrvik.
Pria pemilik nama lengkap Anders Behring Breivik ditahan pada 2011 karena telah membunuh 77 orang di kamp Pemuda Buruh di Kepulauan Utoya pada 22 Juli 2011.
Mayoritas korbannya adalah remaja, delapan di antaranya meninggal akibat bom dan 69 lainnya ditembak.
Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, ekstremis sayap kanan ini divonis penjara selama 21 tahun. Dengan catatan, masa hukumannya dapat diperpanjang jika dirasa masih mengancam keselamatan publik.
Protes terhadap kebijakan penjara dalam memperlakukannya, bukan baru sekali ini terjadi. Sebelumnya, dia juga pernah merengek minta disediakan sofa yang nyaman untuk duduk saat bermain PS.
Ketika menginginkan Playstation 3 (PS3), dia sampai mengancam sipir untuk membelikannya atau dia akan mogok makan.
Mengutip undang-undang HAM di Eropa, dia berharap uang saku mingguannya dinaikkan dua kali lipat menjadi 60 poundsterling dan pernah meminta mesin ketiknya di-upgrade jadi komputer.
“Klien saya butuh ketenangan dan kenyamanan, dia menderita karena sulit berkonsentrasi untuk ujian universitasnya. Kalau gugatan kami ditolak Pengadilan Norwegia, tentu kami akan mengajukannya ke tingkat yang lebih tinggi, yakni Pengadilan HAM Eropa,” tegas Strorrvik.
(Silviana Dharma)