Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Istiani, Pengangkut Pasir yang Tak Pernah Berpikir soal Hari Buruh

Taufik Budi , Jurnalis-Minggu, 01 Mei 2016 |13:58 WIB
Istiani, Pengangkut Pasir yang Tak Pernah Berpikir soal Hari Buruh
Istiani, tak pernah berpikir sekalipun menuntut haknya sebagai buruh (Foto: Taufik/Okezone)
A
A
A

DEMAK - Seorang ibu lima anak di Demak Jawa Tengah sudah puluhan tahun menjadi buruh angkut pasir, namun tak sekali pun memeringati Hari Buruh Sedunia. Baginya, tak ada hari libur bekerja untuk menyuarakan hak-hak dan kenaikan gaji sebagaimana buruh di sektor formal.

“Demo-demo itu hanya bagi orang-orang yang bekerja di pabrik, tapi kalau saya ini kan pekerja kasar di sungai yang menambang pasir. Ya kami enggak pernah tahu apa itu Hari Buruh, kalau tidak kerja ya tidak makan,” kata Istiani, saat ditemui Okezone, di Sungai Jragung, Karangawen, belum lama ini.

Di saat ribuan atau bahkan jutaan buruh lain sedang menggelar peringatan Hari Buruh Sedunia atau May Day, Istiani sama sekali tak terpengaruh. Sejak pagi buta hingga sore hari, dia tetap harus mengangkut pasir demi menghidupi kelima anaknya.

Gunung-gunung pasir yang dibuatnya tak langsung terjual ke konsumen. Olah karenanya, gunung pasir atau biasa disebut satu rit itu, dibeli terlebih dahulu oleh pengepul dengan harga yang tentunya lebih murah. Sementara istiani, hanya diberi upah Rp30 ribu rupiah per hari.

“Kalau capai ya capai banget, tapi gimana lagi kalau tidak bekerja. Sejak pagi di sini ngangkutin pasir, dibawa ke sana pinggir sungai. Bolak-balik paling ya sekira 50 kali, sambil gendong pasir. Ini berat lho, 50 kilogram ya lebih,” ujarnya sambil menggendong pasir.

Meski dengan penghasilan sangat minim, Istiani tak pernah terbersit melakukan unjuk rasa. Dia sadar sebagai pekerja di sektor nonformal, hanya bisa mengandalkan kemampuan diri sendiri. Tak ada majikan yang bakal memberi janji kenaikan gaji maupun tunjangan hari tua.

“Lha kalau demo harus demo ke mana? Kalau buruh-buruh pabrik itu kan bisa demo ke majikannya di pabrik, atau ke Dinas Tenaga Kerja atau ke mana ajalah mereka bisa demo. Kami kan hanya kerja di sungai, masa harus demo ke penunggu sungai,” lugasnya sambil tertawa.

Di area penambangan pasir itu Istiani tak sendiri. Masih banyak buruh angkut pasir lain yang kehidupannya tak jauh beda dengannya. Bagi mereka, Hari Buruh hanya berlaku bagi sektor formal. Sementara buruh kasar seperti Istiani, alih-alih mendapatkan perlindungan hukum dan profesi, justru yang ada adalah ancaman penutupan area tambang galian C tersebut.

“Enggak berani muluk-muluk, bisa bekerja seperti ini kami sudah sangat bersyukur karena memang tidak ada pilihan lain. Jika pemerintah ada perhatian kami sangat bersyukur, misalnya jangan asal tutup dan larang kami untuk bekerja,” kata perempuan 37 tahun itu.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement