YEREVAN – Dalam kunjungan simbolis 100 tahun pembantaian di Armenia, Paus Fransiskus I mendadak pidatokan genosida. Penyebutan yang masih sensitif, karena Turki selaku pewaris Kesultanan Ottoman hingga saat ini membantah tudingan tersebut sebagai pembantaian massal yang sistematis atau genosida.
Hubungan Turki dan Jerman bahkan memburuk setelah parlemen Jerman menyetujui pembantaian massal terhadap umat Kristen di Armenia pada masa itu adalah pelanggaran HAM berat genosida. Kini, Paus Fransiskus kembali meneguhkan pandangannya tersebut dan menyandingkannya dengan Holocaust di Jerman dan Stalinisme di Rusia.
“Sedihnya, tragedi itu, genosida (di Armenia) adalah serangkaian bencana paling menyedihkan pertama selama satu abad terakhir. Dimungkinkan terjadi akibat pemelintiran tujuan-tujuan rasis, ideologi atau agama yang semakin menggelapkan pemikiran para penyiksanya bahkan sampai ke titik perencanaan pemusnahan terhadap seluruh masyarakat,” ucap Sri Paus, sebagaimana diwartakan Independent, Sabtu (25/6/2016).
Menurut petinggi agama Katolik tersebut, tragedi ini lebih menyedihkan dari Holocaust dan Stalinisme, karena kekuatan internasional justru mengabaikannya. Dari ratusan negara di dunia, sejauh ini baru 22 negara yang mengakui genosida oleh Turki terhadap Armenia. Pengakuan yang dipelopori oleh Uruguay pada 1965.
Pemakaian kata genosida untuk menggambarkan pembantaian di Armenia pada 1915, memang sering menjadi perhatian Paus kelahiran Buenos Aires tersebut. Vatikan sebelumnya sudah memperingatkan Sri Paus untuk menghindari penggunaan istilah itu. Akan tetapi, dia tetap menggunakannya juga di menit-menit terakhir pidatonya.
Akibatnya, protes dari Turki mencuat kembali. Sementara warga Armenia yang menghadiri kata sambutan Sri Paus di Istana Presiden Serzh Sargysan, berdiri dan bertepuk tangan.
Guna meredakan ketegangan, juru bicara Vatikan, Federico Lombardi, menjelaskan pernyataan Sri Paus yang dimaksudkan untuk mendorong rekonsiliasi. Kali ini deklarasi genosida itu, selayaknya difokuskan pada konteks pengakuan terhadap tragedi mengerikan, yang kemudian bisa menciptakan langkah maju untuk pertemanan dan perbaikan hubungan.
(Silviana Dharma)