Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Gua Hira yang Tak Sunyi Lagi

Mohammad Saifulloh , Jurnalis-Rabu, 21 September 2016 |19:29 WIB
Gua Hira yang Tak Sunyi Lagi
Jabal Nur yang ada Gua Hira, tempat Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah (M Saifulloh/Okezone)
A
A
A

MAKKAH - Ayam jantan belum lagi berkokok ketika rombongan manusia dari segala bangsa sudah ramai berlomba-lomba mendaki lereng Gunung Cahaya atau Jabal Nur, sekira 6 kilometer utara Kota Makkah, tempat Gua Hira berada.

Pekatnya malam bukan halangan berarti bagi mereka yang sudah bertekad melakukan napak tilas perjalanan Nabi Muhammad SAW ber-uzlah di sana serta mendapatkan wahyu kenabian dari Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril. Justru waktu-waktu seperempat malam terakhir menjadi favorit lantaran cuaca masih bersahabat, tidak panas menyengat.

Dengan penerangan seadanya dari pendaran lampu toko-toko di kanan kiri jalan serta cahaya senter, mereka berjalan mantap menapaki kaki Jabal Nur. Teriakan dari pada pedagang sesekali memecah keheningan. “Tongkat lima riyal, tongkat lima riyal.” Menawarkan barang dagangan yang cukup bermanfaat membantu pendakian.

Suara klakson mobil pun bersahut-sahutan, terkadang ikut memecah konsentrasi menapaki aspal yang mulai menanjak. Yah, jalanan sempit dan terjal itu masih saja dilalui taksi dan kendaraan umum lainnya. Mau tak mau, sesekali barisan manusia harus menepi, mengalah ketimbang diterjang mobil-mobil yang tampak melaju terburu-buru.

Sungguh, adab mengemudi di Kota Suci perlu dibenahi. Tapi itu bukan masalah, lagi-lagi karena tekad sudah bulat untuk mendaki, menapaktilasi perjalanan Rasulullah.

Pun papan berwarna hijau berukuran besar dengan tulisan berbagai bahasa yang dibuat Pemerintah Arab Saudi di pertigaan jalan sebelum tanjakan yang isinya mem-bid’ahkan napak tilas ke Gua Hira, tak bakal mempan menghadang para peziarah naik ke Jabal Nur.

Tiba di anak tangga pertama Jabal Nur, napas sudah mulai ngos-ngosan lantaran jalanan aspal sempit sebelumnya dari pertigaan jalan raya cukup terjal. Dari tanjakan pertama sejauh 200-an meter masih manusiawi, namun setelah tikungan belok ke arah kanan, tanjakan mulai tidak bersahabat, nyaris 40 derajat dengan panjang jalan sekira 300-an meter. Mulai dari titik ini usia dan kebugaran tak bisa lagi dibohongi.

Banyak para peziarah yang memutuskan rehat sejenak sebelum menyentuh anak tangga pertama Jabal Nur. Bahkan, bagi mereka yang memutuskan naik taksi atau kendaraan pribadi dan turun di titik pemberhentian terakhir. Padahal perjalanan menuju puncak dari anak tangga pertama, belum ada seperempatnya. Deretan anak tangga meliuk-liuk dengan sudut kemiringan 40 derajat di atas sudah menanti.

Tangga semen bercampur batu itu tampak dibangun ala kadarnya dan hanya beberapa meter saja dari ratusan meter yang terhampar yang dilengkapi pagar pengaman dari besi. Tak terbayang lebih dari 14 abad lalu Rasulullah naik ke gunung ini atau turun sendirian pada malam hari, tentunya belum ada anak tangga dan fasilitas pendukung lainnya.

Banyaknya jumlah peziarah yang naik maupun turun jalur pendakian menjadi tantangan lain menuju puncak Jabal Nur. Banyak yang berhenti seenaknya dan duduk-duduk di anak tangga. Ada pula yang lamban jalannya seperti nenek-nenek. Mayoritas dari Turki, India dan Indonesia. Suara napas yang berat, batuk dan tarikan dahak begitu dominan memecah kesunyian, karena para pendaki lebih memilih diam menyimpan tenaga.

Tiba di pos pemberhentian pertama yang dilengkapi cungkup lengkap dengan bangku sederhana pemandangan indah sudah mulai menyapa. Lampu-lampu dari rumah-rumah dan kendaraan yang lalu lalang di Makkah terlihat memesona, begitu pula dengan sepoi angin yang menerpa. Perjalanan masih panjang untuk mencapai puncak Jabal Nur di ketinggian 2.500 kaki.

Kaki harus kembali melangkah meski pelan tapi pasti menapaki setiap anak tangga dengan kontur berkelok-kelok yang seolah tak berujung. Saat kepala mendongak ke atas masih ada enam kelokan lagi untuk sampai di puncak. Meski malam semakin kaki melangkah ke atas gunung, cahaya rembulan semakin menyinari sekitar.

Mulai pertengahan jalan mulai muncul suara-suara dari orang-orang Pakistan yang meminta sedekah. “Ya Allah, Ya Rasulullah, shodaqoh haj.”

Jangan heran meski beberapa di antara mereka panca inderanya tidak lengkap, namun bisa mencapai ketinggian lumayan. Entah mereka tinggal di sana sepanjang waktu atau naik dari bawah. Yang jelas di sepanjang tanjakan anak tangga terdapat beberapa gubuk tempat orang-orang Pakistan berjualan air minum, mi instan, kopi, serta pernak-pernik untuk oleh-oleh jamaah haji seperti tasbih dan gantungan kunci bergambar Masjidil Haram.

Tepat saat adzan shubuh berkumandang langkah kaki berhasil menapak puncak Jabal Nur. Butuh waktu sekira satu jam untuk mencapai titik ini. Tak ada kawah atau aktvitas vulkanik lain lantaran gunung ini hanya bebatuan saja, nyaris tanpa tumbuhan apapun.

Di puncak gunung hanya ada hamparan batu datar bercampur pasir. Di beberapa tempat lapang tampak sudah diisi oleh peziarah dari Turki yang menjalankan salat Subuh berjamaah. Mereka sudah mengambil wudlu sejak di kaki gunung atau berwudlu menggunakan air mineral.

Sepelemparan batu di sebelah barat anak tangga menuju puncak terdapat gubuk kecil yang dibelah jalan setapak. Di sisi kiri terdapat kios milik orang Pakistan yang menjual aneka minuman serta suvenir, sementara di sisi kanan jalan setapak terdapat musala dadakan dengan alas dan atap dari terpal seadanya.

Okezone yang masih memiliki wudlu sejak berangkat dari Kantor PPIH Daker Makkah bersama kru Media Center Haji (MCH) langsung mencari posisi salat begitu adzan selesai berkumandang. Keputusan akhirnya jatuh pada pilihan salat di luar musala dadakan. Antre dengan orang-orang Turki yang salat di sisi utara puncak Jabal Nur.

Selama mengantre, pandangan mata terarah ke bagian kanan atau utara, tampak jajaran rumah-rumah dan masjid dengan lampu jalanan menyala, mirip maket bangunan dari atas sana.

Begitu pula di sisi timur, nun jauh di bawah sana pergerakan kendaraan bisa terpantau dari sorot lampunya. Di sisi selatan, tampak makhluk-makhluk berbaju aneka warna sambung menyambung, ada yang turun dan ada yang berjuang naik di kelokan anak tangga. Sementara di arah barat terlihat menara Zamzam tower dengan warna hijau dan jam raksasanya.

Angin berhembus sepoi-sepoi saat takbiratul ihram terucap dan kedua tangan terangkat ke atas disambung bacaan doa iftitah serta surah Alfatihah. Tetiba suasana serasa begitu sunyi, hanya terdengar suara-suara manusia tak jelas maknanya. Diri ini merasa begitu kecil di atas puncak Jabal Nur beratapkan langit bercahayakan rembulan yang dihiasi bintang-bintang. Ya Allah hambamu bersujud tunduk atas segala kebesaran-Nya.

 

Kaki lantas melangkah ke arah Gua Hira yang berada di bagian barat puncak Jabal Nur. Lokasinya masih sekira 100 meter dengan kondisi medan menurun tajam. Beruntung sudah ada anak tangga seadanya dari lapisan semen dan para besi. Dari sini manusia yang antre mau masuk ke Gua Hira dan keluar mulai menyemut. Antrean semakin mengular karena ulah oknum-oknum yang tak tertib, main serobot padahal sangat berbahaya jika sampai terjadi benturan dan terjatuh.

Kepadatan manusia semakin menjadi di akses masuk Gua Hira berupa celah batu yang hanya cukup dilalui satu orang. Aksi saling dorong dan serobot pun terjadi, tak jarang disertai teriakan thoriq ya haj, thariq ya haj (kasih jalan wahai haji).

Okezone lantas melambung memilih jalur lain di arah kiri, meski terjal namun relatif sepi karena tak banyak yang berani mengambil jalur yang tembus di atas Gua Hira ini. Subhanallah, dari sini pandangan ke arah Masjidil Haram tampak sangat jelas. Inilah yang menjadi salah satu alasan Rasulullah dulu memilih gua hira untuk ber-uzlah. Konon dari tempat ini dulu Kakbah bisa terlihat jelas, sayang sekarang pandangan sudah terhalang gedung-gedung tinggi di arah barat. Hanya tower Zamzam setinggi 601 meter saja yang terlihat.

Begitu sampai di atas Gua Hira ternyata sudah ada beberapa rekan MCH di sana, Faiz Sumarno dari TV One tampak sibuk mengarahkan lampu sorot kameranya ke arah mulut Gua Hira. Begitu pula Edho Fardianzah dari TVRI yang posisinya berada di bawah, di samping mulut goa bersama Rawan Kurniawan dari TV One. Dari sorot lampu mereka terlihat puluhan orang berdesak-desakan mengantre masuk gua hira.

Saya pun memutuskan turun menyusuri batuan terjal untuk ikut mengantre masuk Gua Hira yang kini tak lagi sunyi. Rasa penasaran tinggal sejengkal lagi untuk sampai tempat di mana Nabi SAW mendapat wahyu pertama surat Al-Alaq 1-5.

Butuh kesabaran lebih ternyata untuk antre di tengah rasa letih setelah mendaki selama sejam ke atas Jabal Nur. Kesabaran juga semakin dibutuhkan lantaran beberapa orang memaksakan salat di dalam Gua Hira sehingga membuat antrean semakin panjang.

Alhamdulillah, akhirnya sampai juga dibagian dalam Gua Hira setelah berkeringat mengantre beberapa saat. Di dalam gua saat itu ada dua lelaki dan satu perempuan berdoa dengan posisi satu orang duduk dan dua orang berdiri membungkuk, saya menjadi orang keempat.

Sempat bingung harus melakukan apa, akhirnya terucap juga salawat serta salam kepada Nabi Muhammad. Lelah tadi terbayar, raga ini tiba di tapak Jibril berabad lalu saat turun menemui Muhammad untuk menyampaikan wahyu kenabian sekaligus menyampaikan Alquran ayat pertama.

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement