JAKARTA - Pengamat haji dan umrah, Muhammad Hidir Andi Saka mengungkapkan, umrah backpacker memiliki risiko yang cukup tinggi. Oleh karenanya menurut dia, calon jamaah umrah harus diedukasi secara benar tentang umrah backpacker. Khususnya bagi mereka calon jamaah yang baru pertama kali melakukan umrah di Tanah Suci.
"Jangan karena tergiur murah, namun mereka mendapat kesulitan yang besar selama melakukan kegiatan ritual di Haramain (dua tanah suci). Setidaknya ada empat risiko dihadapi calon jamaah yang melakukan umrah backpacker," kata Hidir, Selasa 11 Juli 2017 kemarin.
Risiko pertama, lanjut dia, segala sesuatu yang tidak diserahkan kepada ahlinya maka akan menimbulkan masalah. Seperti visa umrah yang tidak mungkin dikeluarkan jika tidak melalui visa provider. Menurut dia, calon jamaah tetap akan melalui travel sebelum melakukan perjalanan ke tanah suci.
"Sudah jelas visa provider itu adalah travel yang sudah terdaftar resmi di Pemerintah," kata dia.
Sedangkan risiko kedua adalah penanganan barang bawaan, baik saat di bandara keberangkatan maupun kedatangan. Jika calon jamaah tidak mengerti seluk beluk keimigrasian, menurut Hidir, maka akan membawa masalah yang menyita waktu.
"Kalau jamaah kehilangan barang di bandara, maka itu akan merugikan dia. Mengurus itu semua tidak sebentar. Belum lagi kalau jamaah tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris," jelasnya.
Ketiga, jamaah backpacker kata dia, akan menderita di tanah suci karena terlalu menghemat biaya akomodasi dan konsumsi. Jika dibiarkan seperti itu, jamaah bisa jatuh sakit karena fisiknya tidak tahan dengan cuaca di Makkah atau Madinah.
"Mereka tidak mau mengeluarkan uang untuk sewa hotel selama umrah. Ini tentu menyiksa, karena suhu udara di tanah suci sangat panas. Kalau menginap di hotel, maka setidaknya jamaah memiliki banyak waktu untuk istirahat secara baik," tuturnya.
Adapun risiko keempat, sambung dia, jamaah backpacker kebanyakan menggunakan maskapai murah yang terlalu banyak transit di beberapa negara. Hal ini, kata Hidir, akan membuang-buang waktu dan energi.
"Maksud hati menghemat biaya, namun pada akhirnya akan keluar biaya besar juga. Ketika transit di banyak negara, pasti akan keluar biaya konsumsi yang juga tidak sedikit," pungkasnya.
(Rizka Diputra)