KARANGANYAR - Aktivitas masyarakat di Pasar Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah, terlihat begitu sibuk. Meski hari telah beranjak sore, transaksi di pasar tradisional tersebut masih saja terlihat.
Di ujung selatan bangunan Pasar Tradisional yang baru selesai direhab ini, ada sebuah tugu setinggi 2,5 meter. Bagian atas tugu mirip sekali dengan puncak Monas di Jakarta. Bedanya puncak tugu terdapat tulisan "Angudi Leburing Angkoro Penjajah, Amrih Luhuring Anak" dan tidak dilapisi kandungan emas.
Di depan tugu, berjajar sangat rapi 14 bangunan bekas makam tanpa nisan. Nama-nama yang pernah dimakamkan di sana, tertera pada prasasti yang berdiri di samping tugu. "Itu sebuah monumen perjuangan. Di situ, pernah dimakamkan 14 pejuang. Sembilan di antarannya pejuang ini masih berstatus perjaka (belum menikah). Jadi tugu ini disebuh sebagai tugu Joko Songo," papar Waginem, salah satu pedagang di sana pada Okezone.
Menurut Waginem, ke-14 pejuang yang semula dimakamkan di sana, tulang belulangnya sudah dipindahkan ke makam pahlawan di Karanganyar. "Kabeh sing dimakamkan nang kono wis dipindah kabeh ke makam pahlawan nang Karanganyar. Kui saiki posisinya kosong (semua yang dimakamkan di lokasi tersebut sudah dipindah seluruhnya ke makam pahlawan di Karanganyar. Jadi saat ini posisinya sudah kosong)," ungkapnya.
Waginem mengaku tak tahu pasti sejarah tugu tersebut. Yang dia tahu, tugu tersebut diberi nama Joko Songo untuk mengenang pejuang yang belum menikah. Waginem pun mengantarkan Okezone ke Wardoyo (69) salah satu sesepuh di daerah tersebut.
Wardoyo menceritakan sejarah tugu Joko Songo yang banyak belum diketahui masyarakat. Wardoyo berkisah, Kecamatan Matesih merupakan salah satu daerah pertempuran antara para pejungan dan tentara Belanda. Meski demikian, tidak semua pahlawan di wilayah itu dikenal banyak orang. Para pahlawan yang gugur sebagian besar gugur berusia muda.
Sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka yang gugur di usia muda saat perang pada Desember 1948, dibangunlah tugu Joko Songo (sembilan jejaka). "Makannya didinding tugu terpahat kalimat Angudi Leburing Angkoro Penjajah, Amrih Luhuring Anak, singkatan dari ALAP-ALAP. Ya, karena para pejuang itu tergabung dalam pasukan Alap-alap," terangnya.
Tugu tersebut dibangun untuk mengingat kisah heroik sembilan tentara pelajar (TP) di antaranya Laktoto, Soenarto, Moerjoto, Soenarto, Slameto, Roesman, Soekotjo, Soeprijadi, Salam Hasyim, dan Waluyo. Mereka gugur dalam membela Tanah Air pasca-kemerdekaan.
Mereka melakukan pertempuran di seluruh wilayah eks Surakarta hingga ke Salatiga. Pasukan Alap-alap bermarkas di Gedung Sasana Pustaka Mangkunegaran dan bertugas menjaga keutuhan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran.
Menurut Wardoyo, saat itu 5 Januari 1949 sore di kawasan Doplang dan Pablengan, terjadi pertempuran antara tentara pelajar yang tergabung dalam pasukan Alap-alap dan pasukan Belanda yang sedang patroli dengan panser.
"Saat itu wilayahnya masih belantara. Mereka menghadang tentara Belanda dan menyerang dengan menggunakan bom tarik," jelas Wardoyo.
Tentara Belanda kocar-kacir hingga membuat komandan pasukan Belanda. Sang komandan kemudian meminta tambahan pasukan bersenjata lengkap yang bermarkas di Solo. Pasukan Tentara Pelajar yang minim alat perang, akhirnya kalah dari pasukan Belanda.
"Konon saat itu pasukan Alap-alap hanya ada belasan dan dikepung oleh tentara Belanda yang berjumlah ratusan dengan senjata lengkap," lanjut Wardoyo.
Pertempuran yang tidak seimbang membuat pasukan Tentara Pelajar berjatuhan di terjang peluru. Setelah kondisi dirasa aman, jasad sembilan pemuda anggota Tentara Pelajar ini di bawa ke lokasi pengobatan yang sekarang bernama menjadi Puskemas Matesih.
Menurut cerita, jasad para pejuang ini diusung dengan bambu dan beralas tikar kemudian dimakamkan di pemakaman dekat Pasar Matesih. Sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa sembilan pemuda yang tewas saat pertempuran melawan Belanda ini, akhirnya jasad kesembilan Joko Songo dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Karanganyar.
"Untuk mengenangnya bekas makam tersebut, kini didirikan tugu Joko Songo," pungkasnya.
(Risna Nur Rahayu)