JAKARTA – Ketua Presidium Jaringan Wartawan Anti-Hoax (Jawah) Agus Sudibyo menuntut pemerintah dan polisi menjadikan perusahaan jaringan media sosial sebagai subjek hukum di Indonesia. Ia percaya melalui jalan efektif ini, penyebaran berita bohong (hoax) bisa semakin terkendali, dan masyarakat Tanah Air bisa melek terhadap media digital.
Guna menjadikan Facebook, Twitter, Instagram, dan perusahaan media sosial sejenisnya menjadi subjek hukum Indonesia, Agus Sudibyo mengambil contoh beberapa kebijakan yang ada di luar negeri. Ia pernah membaca, di Jerman sedang bergulir rancangan undang-undang untuk mewajibkan semua perusahaan media sosial membuka unit penanganan hoax.
"Unit penanganan hoax itu wajib bekerja 24 jam sehari, tujuh hari sepekan," urainya dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya berjudul 'Saracen dan Wajah Medsos Kita' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2017).
(Baca: Kasus Sindikat Saracen, Perusahaan Media Sosial Dinilai Juga Perlu Bertanggung Jawab)
Cara selanjutnya, lanjut Agus, ketika perusahaan media sosial menemukan konten bermuatan negatif, apalagi hoax, wajib menghapusnya dalam waktu 24 jam. Apabila lewat dari waktu yang ditentukan masih ditemukan konten serupa, perusahaan penyedia layanan media sosial bisa diganjar denda maksimal Rp6 miliar.
"Sebab harus diakui bahwa perusahaan media sosial adalah salah satu pihak yang diuntungkan dengan penyebaran hoax. Saham mereka meningkat dengan memanfaatkan ketergantungan kita pada media sosial," ungkapnya.
Lebih lanjut dalam menjadikan Facebook cs sebagai subjek hukum, Direktur Indonesia New Media Watch ini juga mengingatkan aturannya harus jelas. Undang-undangnya harus bisa membedakan hukum untuk pemilik akun media sosial yang menyuarakan informasi palsu dan hukum untuk perusahaan jejaring yang mengelola mesin penyebaran berita hoax.
(Baca: Perusahaan Medsos Dinilai Paling Diuntungkan oleh Maraknya Peredaran Hoax)
Acuan lain, terang Agus Sudibyo, diperoleh dari kunjungannya ke Australia. Pemerintah di sana menerapkan kebijakan yang memastikan perusahan penyedia layanan medsos menyisihkan pendapatannya untuk mendidik masyarakat.
"Mereka harus mendidik masyarakat bagaimana memanfaatkan media sosial dengan bijak, juga bagaimana menggunakan ponsel pintar dengan cerdas,” tuturnya.
Pokok perbandingan lain, sambung Agus, bisa dilihat dari Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Hoax dan fake news menjadi salah satu isu sentral yang memengaruhi pemilih. Ketika itu hoax dikampanyekan oleh kedua kubu partai pengusung capres yakni Demokrat dan Republik.
Namun, hal yang menjadi wacana tidak hanya mengusut penyebar berita hoax dan pemesannya. FBI serta publik juga menuntut pertanggungjawaban Facebook serta situs-situs penyebar informasi palsu. Gambaran ini, menurut Agus, tidak jauh berbeda dengan konsep tanggung jawab yang dibebankan kepada media massa.
"Mengacu ke Pilpres AS, setelah selesai Facebook turut dipersoalkan. Mengapa FB membiarkan ruang publik dipenuhi dengan kebohongan dan kebencian, sehingga sekarang masyarakat AS jadi terbelah," bebernya.
(Baca: Bisnis Hate Speech Tak Ubah seperti Penjualan Narkotika!)
Hal serupa juga terjadi semasa peristiwa Britania Exit (Brexit). Ada kampanye-kampanye negatif di media sosial yang mendorong orang untuk mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang sudah dipelopori negara lain tersebut, terang Agus, layak segera diadopsi Pemerintah Indonesia. Apalagi setelah beberapa kasus kontroversial terkait penggunaan medsos menggegerkan Nusantara. Seperti kasus perseteruan Buni Yani dan Ahok, lalu yang terbaru penangkapan sindikat penyebar ujaran kebencian Saracen.
(Hantoro)