Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Nasib Sungai Brantas, Tercemar Limbah dan Lemahnya Pengawasan

Hari Istiawan , Jurnalis-Kamis, 07 September 2017 |13:05 WIB
Nasib Sungai Brantas, Tercemar Limbah dan Lemahnya Pengawasan
Industri di hilir Sungai Brantas (Hari Istiawan/Okezone)
A
A
A

Penindakan sebagian ditangani kota/kabupaten, provinsi maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, Diah enggan menyebut berapa industri yang telah dijatuhi sanksi, baik itu sanksi adminstrasi hingga sanksi berat.

“Datanya ada di Bidang Penegakan. Dulu masih menjadi satu dengan bidang saya, tapi sekarang sudah dipisah,” ungkap perempuan 57 tahun ini. Okezone pun mencoba mencari data di Bidang Penegakan Dinas Lingkungan Hidup, namun tak membuahkan hasil. Salah seorang pegawai mengatakan, “Kepala bidang sedang dinas luar. Kami tidak berani memberikan data sebelum izin atasan.”

Diah mengatakan pencemaran lingkungan berkurang ketika musim hujan karena debit air di sungai bertambah. Sebaliknya, saat musim kemarau, potensi pencemaran lingkungan tinggi akibat debit air yang berkurang.

Ia memaparkan data program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) KLHK tahun 2016. Dari 1.930 perusahaan, terdiri dari 111 jenis industri tingkat ketaatan mencapai 85 persen.

Sebanyak 12 perusahaan meraih peringkat emas, 172 perusahaan menyabet peringkat hijau, biru 1.422 perusahaan dan merah 284 perusahaan. Sementara, 5 perusahaan meraih peringkat hitam dan 35 perusahaan lain tidak diumumkan yang terdiri dari 13 perusahaan dalam proses penegakan hukum dan 22 perusahaan telah tutup.

Peringkat hitam diberikan ke perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan, tidak mengantongi izin lingkungan atau membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) langsung ke lingkungan.

Di tahun sebelumnya, terdapat 21 perusahaan meraih peringkat hitam. 14 perusahaan mendapat sanksi administratif dari KLHK, 2 perusahaan sanksi administratif dari BLH setempat dan 1 perusahaan dalam Pulbaket serta 4 perusahaan belum TKP.

Ia mengatakan justru yang sering melanggar adalah industri kecil. “IPAL nya tidak bagus, sekadar penampungan, kemudian dibuang ke sungai. Kami upayakan ada bantuan IPAL bagi industri,” jelas Diah.

Dalam lima tahun terakhir, Dinas Lingkungan Hidup telah membangun 20 lebih IPAL komunal di bantaran sungai di Kota Surabaya dan Gresik. Setiap IPAL mampu menampung 25 KK sampai 55 KK. Ke depan, sepanjang Mojokerto-Surabaya juga akan dibangun IPAL. Meski begitu, lahan yang terbatas menjadi kendala penyediaan IPAL di masyarakat bantaran sungai.

Penyediaan IPAL diprioritaskan di daerah hilir Sungai Brantas. Dengan harapan bisa mengurangi limbah domestik masyarakat. Penduduk di daerah hulu bantaran sungai tidak begitu padat, sehingga masih bagus untuk pelestarian sungai. Sedangkan di daerah hulu, ancaman terbesar adalah bahaya erosi akibat pola tanam petani dan alih fungsi lahan, serta limbah pertanian.

Lemah Pengawasan dan Penindakan

LSM Lingkungan Hidup Ecoton mengkritik sistem penilaian Proper yang tidak berjalan maksimal. Karena pengawasan hanya dilakukan siang hari. Padahal, pabrik membuang limbah ke sungai pada pukul 00.00 dini hari.

Ecoton menilai Proper justru dianggap sebagai alternatif pengawasan, yang cenderung mengesampingkan pengawasan rutin. “Sekalipun hasil Proper berwarna merah dan hitam, tidak lantas ditindaklanjuti dengan sanksi,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton. “Pasalnya terdapat kesimpangsiuran lembaga yang berwenang memberikan sanksi.”

Di sisi lain, ketika lembaga di luar pemerintah seperti Ecoton menyampaikan pencemaran yang dilakukan industri, dalam pembuktian pencemaran, samplingnya harus diambil petugas Dinas Lingkungan Hidup. Padahal jumlah petugas terbatas.

Prigi mengatakan Ecoton pernah berinisiatif memantau pabrik Tjiwi Kimia, Cheil Jedang Samsung, Multibintang Bir Bintang, dan pabrik kertas lain. Temuan pelanggaran industri itu telah dilaporkan Dinas Lingkungan Hidup, sayangnya tidak ada tindak lanjut. “Industri di Kabupaten Mojokerto lebih percaya diri karena Dinas Lingkungan Hidup lebih berpihak pada pabrik,” ujarnya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memiliki catatan terkait ancaman ekologis di Jawa Timur karena regulasi yang lebih condong dan berpihak terhadap kepentingan investasi. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Rere Christanto, mengatakan, menemukan 69 regulasi dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan ekologi. Rincinya, 35 regulasi tingkat pusat, 3 regulasi tingkat provinsi, dan 31 regulasi tingkat daerah. “Regulasi ini menjadi ancaman terhadap ekologis Jawa Timur,” kata Rere.

Sementara, IndoWater Cop secara mandiri bersama jaringannya melakukan penelitian senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam sungai di Indonesia. Pendataan sumber, jenis dan konsentrasi SPH yang berdampak pada satwa liar dan masyarakat yang tinggal di kawasan tercemar berat.

Berdasarkan data yang mereka miliki, lembaga ini mendorong pemerintah merevisi peraturan Peraturan Pemeritah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Laut dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Hal penting dalam revisi ini tak lain menambahkan pengendalian pencemaran air dan penambahan parameter SPH.

Dorongan itu muncul lantaran Polychlorinated biphenyls (PCB), salah satu yang diketahui memiliki konsentrasi sangat tinggi di Sungai Ciliwung dan Sungai Brantas belum terakomodasi dalam PP nomor 82 tahun 2001. Begitu juga metabolit DTT (DDD, DDE) penting dimasukkan dalam baku mutu kualitas air mengingat jumlah dan distribusinya melimpah di perairan.

Riska Darmawanti, Koordinator Nasional IndoWater CoP menjelaskan PCB berbahaya bagi kesehatan. Sebab, sifatnya tidak mudah larut di dalam air tetap larut dalam minyak atau lemak. Jika senyawa ini masuk ke dalam tubuh, tidak mudah dikeluarkan dan akan terakumulasi secara biologi di dalam jaringan lemak.

Selain itu, PCB juga beracun, tidak hanya berbahaya bagi hewan dan lingkungan. “Pada manusia dapat menyebabkan kanker, mengganggu sistem kekebalan tubuh, sistem saraf dan menyebabkan penebalan kulit,” kata Riska. (Bersambung)

 

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement