MALANG - Membuang sampah di sungai hingga kini masih menjadi kebiasaan buruk sebagian masyarakat. Apalagi limbah industri yang mengandung banyak bahan kimia berbahaya. Kepedulian untuk menjaga kebersihan sungai masih minim. Seolah-olah Sungai Brantas, Jawa Timur adalah tempat pembuangan limbah dan sampah yang sangat besar.
Hulu Brantas sendiri berada di Kota Batu, Jawa Timur pun tak luput dari sampah. Meski belum belum ada industri, namun penggunaan pestisida yang kandungan kimianya juga bisa mengalir ke Brantas turut menyumbang pencemaran di sungai ini.
Sedangkan hilir Brantas terletak di Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya. Bagi warga Kota Surabaya, keberadaan air Sungai Brantas amat penting dalam mencukupi kebutuhan air setiap harinya. Karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada Kota Surabaya menjadikan air Sungai Brantas sebagai bahan baku utama.
Direktur Utama PDAM Surya Sembada, Mujiaman, mengatakan, 97 persen air yang dialirkan ke pelanggan bersumber dari Sungai Brantas dan 3 persen sisanya dari sumber air Pandaan, Pasuruan. Pengolahan air milik PDAM sendiri berada di dua tempat, yakni Ngagel dan Karangpilang.
Air yang diambil dari Kali Surabaya-Sungai Brantas ini ditampung di bejana besar. Sebelum air disalurkan, lebih dulu diolah secara fisik, kimia dan biologi. Mujiaman menjelaskan pengolahan fisik dengan cara sedimentasi kemudian filterisasi.
(Baca juga: Petaka Air Sungai Brantas yang Tak Lagi Bermutu)
Sedangkan proses kimia dengan aerasi (proses gas diserap atau dilarutkan), dan koagulasi (partikel koloid dinetralkan muatan listriknya). “Proses biologi memusnahkan bakteri dengan pembubuhan disinfektan,” katanya, ketika ditemui di Kantor PDAM, Jalan Mayjend Prof. Dr. Moestopo 2 Surabaya, pertengahan Agustus lalu.
Kapasitas instalasi PDAM saat ini mencapai 10.830 liter per detik. Rincinya, 9.700 liter per detik dari Sungai Brantas dan 330 liter per detik dari sumber air alami. Kualitas kedua sumber air ini bagai “bumi” dan “langit”. Air dari sumber alami tanpa proses pengolahan, bahkan layak minum tanpa direbus sekalipun.
Tapi secara keekonomian, kata Mujiaman, mengolah air Sungai Brantas lebih efektif daripada menyalurkan air dari luar daerah. Jika semua biaya dibebankan pada konsumen, harga akan melambung lantaran beban biaya membangun sambungan air dari Pasuruan ke Surabaya. “Pemerintah mensubsidi atau ikut membiayai transmisi, sehingga besaran biaya yang dibayar tidak terlalu besar. Di kisaran Rp2.400 per meter kubik,” ujarnya.
(Baca juga: Sungai Brantas Tercemar Limbah, Diare hingga Kanker Meneror Warga)
Saat ini, PDAM telah menjangkau 560 ribu pelanggan. Sekitar 4 persen warga Surabaya belum teraliri air PDAM akan dilayani setelah proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan senilai Rp400 miliar ini rampung. Proyek yang ditargetkan selesai pada 2019 mendatang rencananya untuk melayani 1,3 juta penduduk atau 31 ribu sambungan rumah (SR) baru di Jawa Timur. Targetnya 10 ribu SR berasal dari Kota Surabaya dengan jatah volume 1.000 liter per detik, sisanya sekitar 3.000 liter per detik dialirkan ke Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik.
Mujiaman mengatakan kondisi air Sungai Brantas yang tercemar berdampak negatif pada PDAM Surya Sembada. PDAM harus mengeluarkan 5 persen dari dari harga pokok penjualan (HPP) untuk bahan kimia. Belum termasuk biaya listrik dan kontribusi ke Perum Jasa Tirta 1 selaku pengelola Sungai Brantas.
(Baca juga: Sungai Brantas Tercemar, Ini Bahaya Senyawa Pengganggu Hormon bagi Manusia)
PDAM tidak memiliki wewenang untuk mengawasi kondisi Sungai Brantas karena pengawasan menjadi tanggung jawab Perum Jasa Tirta 1, pemerintah daerah dan provinsi, dan Dinas Lingkungan Hidup. “Kewajiban kami, apapun yang masuk harus kami olah. Sampai memenuhi syarat baku mutu air,” ungkapnya, “Jika kondisinya terus seperti ini (tercemar,red). Yang dirugikan warga Surabaya.”
Prestasi di Saat Brantas Tercemar Berat
Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapat penghargaan peringkat pertama Nirwasita Tantra Award (NTA) 2016 dari pemerintah pusat. Penghargaan serupa juga diperoleh Kota Surabaya untuk tingkat kota di tahun yang sama. Ironi memang, penghargaan ini diperoleh saat problem pencemaran di Sungai Brantas belum terselesaikan.
”Kami dinilai memiliki komitmen tinggi dalam pengelolaan lingkungan,” kata Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jatim, Diah Susilowati, ditemui di ruang kerjanya, pertengahan Agustus.
Padahal Diah tidak memungkiri kondisi Sungai Brantas tercemar berat. Selain Brantas, ada Bengawan Solo, Sampean dan Bajulmati, Madura serta Bondoyudo, dan Welang Rejoso dengan kondisi sama.
Ia mengklaim berbagai upaya dilakukan. Mulai peningkatan kerja industri, penegakan hukum lingkungan, patroli rutin, penyediaan IPAL komunal domestik, biogas sentra peternakan, monitoring kualitas air sungai sampai pengawasan izin industri.
Data di Dinas Lingkungan hidup, terdapat 130-an industri di sepanjang DAS Brantas. Meliputi industri manufaktuf, kertas, makanan, minuman, logam, dan lainnya. Industri skala menengah ke atas dianggap memiliki pengolahan IPAL cukup baik. Sebelum limbah dibuang ke sungai, lebih dulu melalui proses pengolahan.
Di tahun 2016, ada 49 pengaduan yang masuk ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jatim. Untuk periode 2013-2016, pengaduan soal lingkungan mencapai 252 laporan, pencemaran air 84 pengaduan, udara 76 pengaduan dan pencemaran tanah 92 laporan.