DI TENGAH situasi yang memanas di Filipina menyusul terjadinya pemberontakan komunis dan serangkaian pengeboman, Diktator Ferdinand Marcos mengumumkan berlakunya status darurat militer di negara itu melalui Proklamasi No. 1081 pada 23 September 1972. Mulai berlakunya status tersebut menjadi awal dari pemerintahan teror Marcos yang melakukan penculikan, penyiksaan, pembunuhan dan penghilangan lawan-lawan politiknya.
Pada 1970-an, Filipina berada dalam situasi ekonomi yang parah akibat berbagai faktor termasuk tuntutan reformasi pendidikan, meningkatnya tingkat kejahatan dan pemberontakan kaum komunis. Demonstrasi yang marak dan memakan korban, isu akan adanya kudeta dan keadaan yang semakin tak stabil mendorong Marcos mengambil langkah ekstrem.
Dengan alasan meningkatnya pemberontakan, pengeboman dan upaya pembunuhan terhadap Menteri Pertahanan Filipina, Juan Ponce Enrile, Marcos mengumumkan diberlakukannya status darurat militer yang membuatnya memiliki kontrol atas militer Filipina.
Semula, Marcos menandatangani Proklamasi No. 1081 terkait status darurat militer itu pada 17 September 1972, namun kemudian diundur menjadi 21 September karena keyakinannya akan takhayul terkait angka ‘7’. Dua hari kemudian, pada 23 September 1972, Marcos secara resmi mengumumkan Proklamasi tersebut melalui siaran langsung televisi dan radio dari Istana Malacanang.
Setelah status tersebut diberlakukan, Undang-undang Dasar (UUD) Filipina 1935 kemudian digantikan dengan UUD baru untuk mengganti sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer dengan Marcos memegang jabatan ganda sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Filipina. Dalam pemerintahan baru tersebut, Marcos membentuk koalisi yang mengendalikan parlemen satu ruang yang dibuatnya.