Di bawah status darurat militer, terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang meluas di Filipina, meski di saat yang sama terjadi juga pengurangan tingkat kejahatan di perkotaan, dan ditekannya pemberontakan komunis di beberapa daerah. Dilaporkan saat ini ada lebih dari 70 ribu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang diajukan dari periode darurat militer.
Metode penyiksaan yang digunakan para tentara kepada korban mereka sangat tidak manusiawi, termasuk pemukulan, pemerkosaan, penyetruman, dan mutilasi. Banyak lembaga swasta khususnya media yang kritis terhadap pemerintah ditutup. Kepolisian Filipina pun digunakan untuk menangkapi para aktivis oposisi pemerintah.
Dalam bukunya, “Dark Legacy: Human rights under the Marcos regime." Alfred McCoy menyebutkan telah terjadi 3.257 pembunuhan di luar hukum, 35 ribu penyiksaan individual, dan 70 ribu orang dipenjara. Sebagian besar korban pembunuhan tersebut terlebih dahulu disiksa dimutilasi, dan dibuang di pinggir jalan agar dilihat oleh publik. Dilaporkan juga terdapat 737 kasus orang hilang antara 1975 dan 1985.
Status darurat militer ini baru dicabut oleh Marcos pada Januari 1981. Pemerintahan Diktator Filipina itu berakhir empat tahun kemudian setelah dia digulingkan melalui revolusi 1986 dan dipaksa mengasingkan diri ke Hawaii.
(Rahman Asmardika)