JAKARTA – Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai pernyataan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (Margiono) yang meminta masyarakat Sumatera Barat untuk memberikan suaranya kepada Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2019, merupakan lelucon.
Margiono dalam sambutannya di acara puncak Hari Pers Nasional (HPN), Jumat 9 Februari 2018, meminta kepada masyarakat Sumbar untuk memberikan suaranya agar Jokowi bisa memimpin selama dua periode.
Ketua Dewan Etik AMSI Bagir Manan menilai Margiono tidak memiliki etika yang kuat karena terjun ke politik praktis sebagai calon bupati Tulungagung tapi masih menjabat ketua PWI. Ini, lanjut, Bagir mencederai etika independensi wartawan dan menjatuhkan kredibilitasnya.
“Margiono merasa perlu untuk tampil pidato di depan Presiden dengan memberikan pujian supaya mencerminkan bahwa dia mendukung Jokowi dan berharap dapat dukungan pencalonannya,” kata Bagir dalam rilis yang diterima Okezone, Senin (12/2/2018).
Tapi, lanjut Bagir, alih-alih memanfaatkan pidato yang elegan, Ketua PWI malah melakukan stand-up comedy. “Saya sedih, kok kepala institusi wartawan seperti itu,” tambahnya sambil mengelus dada.
Sementara soal Hari Pers Nasional yang ditetapkan tiap tanggal 9 Februari, Bagir beranggapan ihwal tersebut diserahkan pada Dewan Pers.
“Hak pelaksanaannya serahkan ke Dewan Pers saja,” kata Bagir.
Alasan Bagir agar lebih netral, dan Dewan Pers itu milik seluruh konstituen kewartawanan di Indonesia. “Bahwa panitia pelaksana nantinya bukan unsur Dewan Pers, tapi oleh salah satu ketua atau pengurus dari organisasi lain tidak masalah, yang penting kepanitiaan dikoordinasi Dewan Pers,” tuturnya.
Seperti diketahui, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendesak agar pelaksanaan HPN direvisi. Terutama menyangkut soal tanggal, dimana 9 Februari sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Setelah Seoharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sejumlah regulasi Orde Baru di bidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya Undang Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru. Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers.
Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada tahun 1999. Tapi HPN tetap 9 Februari mengacu hari lahir PWI. Padahal saat ini organisasi wartawan bukan cuma PWI.
Sejatinya bahwa pertemuan di Solo pada 1949 itu bukan cuma membahas soal PWI tapi itu kali pertama membahas tentang pera perjuangan. Hanya kebetulan saja bareng acara PWI, tapi justru ajang pembahasan penting untuk tonggak perjalanan dunia kewartawanan berikutnya.
Bagir tidak bisa menyepakati mana yang lebih pas apakah Februari atau November pelaksanaan yang sesuai. Masing-masing memiliki alasan dan landasan yang bisa diperdebatkan.
“Kalau paling gampang kapan tonggak pers, tapi tidak ketemu titiknya, bagaimana kalau HPN disamakan dengan sejak Republik ini berdiri saja, 17 Agustus,” katanya senyum. “Biar sepakat dan tak ada yang merasa paling benar,” katanya.
Bagir setuju ada pembahasan soal HPN. Dia menyarankan permasalahan ini disampaikan ke pemerintah agar dibahas bersama.
(Rachmat Fahzry)