Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengetahui 5 Tanda Alam Jelang Tsunami Beserta Cara Menyelamatkan Diri

Agregasi VOA , Jurnalis-Selasa, 02 Oktober 2018 |09:22 WIB
Mengetahui 5 Tanda Alam Jelang Tsunami Beserta Cara Menyelamatkan Diri
Dampak tsunami di Sulawesi Tengah. (Foto: Reuters)
A
A
A

ALAT buoy pendeteksi tsunami diklaim Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB) tidak lagi berfungsi. Hal ini membuat publik mempertanyakan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga keselamatan warga.

"Sejak 2012, buoy tsunami sudah tidak ada yang beroperasi," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Minggu 30 September 2018.

Buoy adalah pelampung suar dengan sensor untuk mengukur ketinggian permukaan air laut, dan memberikan informasi peringatan dini tsunami ke institusi terkait.

Saat gempa 7,4 skala Richter (SR) menimpa Donggala dan Palu pada Jumat 28 September, sekira pukul 17.02 WIB, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini tsunami. Tsunami disebut akan sampai pada pukul 17.22 WIB.

(Baca juga: Mengenal Likuifaksi, Melarutnya Tanah di Kota Palu dan Sekitarnya)

Alat buoy pendeteksi tsunami yang dipasang pada 2007 di perairan Sumatera. (Foto: AP)

Kemudian karena waktu terlewati, peringatan dini pun dicabut pada pukul 17.36 WIB. Beberapa menit setelah pencabutan ini, tsunami menerjang Kota Palu dengan ketinggian sekira 1,5 meter.

Dengan "tidak beroperasinya" alat pendeteksi tsunami dan melesetnya peringatan dini, lalu dengan apa lagi masyarakat tahu bahwa tsunami akan menerjang sehingga bisa menyelamatkan diri?

VOA Indonesia pun merangkum sejumlah tanda-tanda alam jelang terjadinya tsunami dan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri.

Gempa Besar

Gempa bumi yang berpusat di bawah laut adalah salah satu penyebab utama tsunami. Selain gempa bumi, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), tsunami bisa diakibatkan oleh runtuhan di dasar laut atau letusan gunung api di laut.

Jadi jika masyarakat berada di sekitar pantai dan merasakan gempa besar atau lama (lebih dari 1 menit), sebaiknya bersiap dan langsung menyelamatkan diri. Lalu gempa sebesar apa yang bisa mengakibatkan tsunami?

Pertanyaan ini sulit dijawab. Namun berdasarkan data tsunami yang terjadi di berbagai penjuru dunia dalam dua dekade terakhir, tsunami diakibatkan gempa dengan kekuatan mulai dari 6,2 SR.

(Baca juga: Gempa 5,3 SR Kembali Melanda Donggala, Tidak Berpotensi Tsunami)

Tsunami Palu. (Foto: AP)

Gempa bumi 6,2 SR di Christchurch, Selandia Baru, pada 2011, mengakibatkan tsunami setinggi 3,5 meter dan menewaskan total 185 orang.

Sementara tsunami di Aceh pada 2004 yang menewaskan lebih 200 ribu jiwa di 12 negara, disulut gempa bumi dengan kekuatan 9,1 hingga 9,3 SR.

Melalui fakta bahwa Indonesia berada di wilayah Cincin Api (memiliki banyak gunung api dan titik pertemuan sejumlah lempeng bumi), kesiapsiagaan warganya atas ancaman gempa dan tsunami juga sangat diperlukan.

Air Surut atau Tidak?

Surutnya air laut adalah salah satu pertanda akan terjadinya tsunami, jika dasar perairan anjlok karena terjadinya gempa. Setelah air tertarik ke laut, gelombang besar akan menerjang daratan membawa energi balasan.

Inilah yang terjadi saat gempa dan tsunami besar di Aceh dan Samudera Hindia pada 2004. Kala itu malah banyak yang mendatangi pantai untuk melihat fenomena janggal tersebut sembari menangkap ikan.

Tsunami Palu. (Foto: AP)

Berdasarkan data SMS Tsunami Warning, jika air laut surut setelah gempa, maka warga yang tinggal di pesisir punya waktu 5–10 menit untuk menyelamatkan diri.

Meski begitu, waktu tsunami sampai di pantai juga bergantung kedalaman air dan di mana lokasi terjadinya gempa dan patahan.

Pada gempa Aceh 2004 yang berpusat 240 kilometer di pantai barat Sumatera pada kedalaman 30 km, tsunami setinggi lebih 10 meter sampai di daratan Aceh sekira 30 menit setelah terjadinya gempa. Meski demikian, tsunami tidak selalu didahului surutnya air laut.

Berdasarkan penelitian Pusat Riset Bencana Alam, Puslit Geoteknologi LIPI, pada 2012 lalu, pemodelan potensi gempa dan tsunami di perairan Padang, Sumatera Barat, memperlihatkan tsunami bisa saja terjadi di masa datang, “tidak didahului surutnya air laut”.

"Hal ini disebabkan karena ketika gempa, hampir seluruh dasar perairan di barat Padang langsung terangkat, sehingga tsunami langsung terbentuk," kata Koordinator Tim Penelitian Gempa LIPI saat itu, Danny Hilman Natawidjaja.

Dalam kata lain, surut atau tidaknya air laut jelang tsunami bergantung pada lempengan yang diguncang gempa, apakah naik atau turun. Jadi apabila gempa besar terjadi, masyarakat tidak perlu mencari kabar soal surutnya air laut. Fokus selamatkan diri.

Tsunami di Selandia Baru. (Foto: AP)

Gemuruh dari Laut

Banyak saksi yang menyebut tsunami berbunyi seperti deru kereta api atau pesawat jet. Lalu ketika menerjang, tsunami tidak melulu hanya gelombang tunggal. Gelombangnya bisa datang berkali-kali, bahkan “sampai lima kali”.

Tsunami juga bisa bergerak dengan kecepatan hingga 970 km per jam di laut terbuka. Ini sama cepatnya dengan kecepatan pesawat tempur. Bahkan berdasarkan penelitian SMS Tsunami Warning, tsunami bisa melintasi seluruh samudera di bumi hanya dalam waktu beberapa jam saja.

Lalu, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan untuk menyelamatkan diri, jelang dan ketika tsunami terjadi?

Harus Dilakukan: Lari, Diam, Terus Berlayar

Dalam 'Buku Saku Tanggap Tanggas Tangguh Menghadapi Bencana' yang dikeluarkan BNPB, orang yang tinggal di pesisir pantai diminta untuk segera berlari ke tempat tinggi setelah gempa besar terjadi.

Tsunami di Aceh. (Foto: AP)

American Red Cross menyebut idealnya warga berlari ke bukit atau tempat dengan ketinggian di atas 30 meter, sejauh 3 km dari pinggir laut.

"Golden time-nya adalah 10 sampai 30 menit setelah gempa, sangat sempit waktunya," jelas pihak BMKG.

Oleh karena itu, jika tinggal di pesisir, masyarakat harus paham lingkungan sekitar; tahu di mana bukit atau tempat tinggi terdekat yang bisa dicapai seandainya tsunami mengancam.

BNPB menyebut, jika tsunami benar menghantam, maka bertahanlah di daerah tinggi hingga beberapa jam ke depan.

Tsunami Palu. (Foto: AP)

"Karena gelombang tsunami yang kedua dan ketiga biasanya lebih besar dari gelombang pertama, serta dengarkan informasi dari pihak yang berwenang melalui radio atau alat komunikasi lainnya," tulis BNPB.

Apabila masyarakat berada di kapal atau perahu yang tengah berlayar, upayakan untuk tetap berlayar dan menghindari wilayah pelabuhan, karena hantaman gelombang lebih membahayakan jika semakin dekat ke pantai.

Jangan Dilakukan: Ambil Foto/Video, Berkendara, Lintasi Jembatan

Setelah gempa besar atau lama mengguncang, fokuslah menyelamatkan diri. Meskipun berita soal gempa dan tsunami di berbagai wilayah dunia, penyebaran informasi awalnya cepat tersebar karena foto dan video yang diambil warga, itu bukan kewajiban publik.

Taruh telepon genggam di saku, lalu carilah tempat tinggi. Keselamatan diri jauh lebih penting dibandingkan momen yang ingin diabadikan menggunakan kamera.

Tsunami Palu. (Foto: AP)

Masyarakat juga tidak perlu melihat ke pinggir pantai untuk memastikan apakah air surut atau tidak, karena tsunami juga bisa datang tanpa dimulai dengan surutnya air laut.

BNPB melalui buku sakunya juga menyebut agar evakuasi diutamakan dengan berjalan kaki. "Jika terjadi kemacetan, segera kunci dan tinggalkan kendaraan."

Terjebak di kemacetan bisa membuat keselamatan seseorang terancam. Selain itu, sebaiknya hindari berjalan melewati jembatan karena gempa susulan mungkin bisa terjadi, dan jika tsunami bergerak lebih cepat, akan lebih sulit juga menyelamatkan diri.

Tsunami Palu. (Foto: AP)

(Hantoro)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement