JAKARTA - Menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) di trotoar sudah menjadi pemandangan lazim di Jakarta. Keberadaan PKL di trotoar tentu saja mengganggu kenyaman hak pejalan kaki. Apa upaya Pemprov DKI mengatasi masalah ini?
PKL berjualan di trotoar bukan saja malam, tapi siang juga mudah ditemui. Misalnya seperti di kawasan perkantoran Jalan HR Rasuna Said hingga Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan.
PKL mengais rezeki di atas jalur pejalan kaki, menawarkan aneka makanan hingga minuman. Orang-orang yang berkantor sekitar jalan itu menjadi pelanggan. Saban jam makan siang di hari-hari kerja, mereka “menyerbu” jajanan PKL di trotoar. Ramainya aktivitas jual-beli di trotar mengganggu pejalan kaki.
Kepala Dinas Koperasi, UMKM dan Perdagangan DKI Jakarta, Adi Ariantara mengakui, PKL berjualan di trotoar Ibu Kota masalah yang harus diselesaikan dengan bijak.
Menurutnya salah satu faktornya adalah banyak perkantoran di Jakarta tak memiliki kantin, sehingga karyawan harus keluar mencari makan dan peluang ini dimanfaatkan PKL dengan menggelar dagangan di trotoar yang mudah diakses.

Jika pun ada kantin di kantor, harga makananya mahal karena pedagang harus menyewa tempat dan bayar pajak, sehingga para karyawan tetap memilih makan di kaki lima dengan harga terjangkau.
"Kantin di kantor harus besar dan bisa menampung pegawai yang kerja di sana. Sekarang kan yang punya gedung cuma nyewain ruang doang, tidak pernah pikirkan itu," kata Adi Ariantara kepada Okezone, Sabtu (9/3/2019).
Adi menjelaskan, PKL memang diizinkan berdagang di atas trotoar dengan mengacu kepada Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
Namun, hal itu bukan sepenuhnya kewenangan pemerintah provinsi. Pemerintah kota administratif di wilayah DKI juga diberi kewenangan menertibkannya.
Wali kota bisa melarang dan mengizinkan PKL berdagang di trotoar asal lewat kajian terlebih dulu. Itupun jumlahnya harus dibatasi. Jika sangat padat dan mengganggu, maka wali kota berhak untuk membubarkannya.
"Kalau terjadi aktivitas yang besar (seperti perkantoran), ya wali kota harus mengambil keputusan. Tentu ini setiap dua tahun sekali bisa ditutup, kalau sudah tidak memadai," katanya.

PKL dengan pegawai kantoran memang saling membutuhkan. Memindahkan PKL sekaligus juga berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Saya coba membayangkan kalau PKL Kuningan saya bersihkan, nanti dipusatkan di Mampang. Berapa kemacetan yang terjadi? Itu yang kita bayangkan," ujarnya.
Selama ini memang belum ada peraturan baku yang mengharuskan setiap kantor memiliki kantin. Adi mengaku pihaknya sudah melontarkan usulan untuk dibuat regulasi tersebut.
"Itu sudah saya lontarkan, tapi tentu kita harus bertahap. Tapi sebelum itu bergerak kita juga nyediain lokasi sementara dan lokasi binaan," katanya.
(Salman Mardira)