 
                
            SURABAYA - Pakar Kepelabuhan Saut Gurning menjelaskan berdasarkan informasi mitos "Cura-bhaya" dari buku Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia oleh Soenarto Timur, di tahun 1983 yang disadur dari tulisan nagarakertagama (Pupuh, XVII-5, tahun 1334-1352), nama Tanjung Perak berawal dari kata Hujunggaluh yang terdiri dari akar kata Hujung (wilayah yang menjorok ke laut atau muara).
Sedangkan galuh yang berarti perak/emas, komoditas pertukaran yang dilakukan para pedagang lokal dengan pedagang antar pulau hingga internasional. Kemudian berubah menjadi Tanjung Perak yang berada di ujung sungai Kali-emas atau kemudian menjadi sungai kalimas.
"Jadi awalnya daerah itu bernama Hujunggaluh yang sekarang peninggalannya adalah kampung tembok. Sehingga pelabuhan pertama di sekitar Perak sekarang itu sebenarnya berada di Sungai Kalimas di daerah kampung Tembok atau yang sekarang di sekitar wilayah Jembatan Merah Surabaya," terang Saut.

Nama itu lalu berubah dengan nama Tanjung Perak oleh pemerintah Hindia Belanda di tahun 1875 oleh insinyur Belanda bernama Ir. W. de Jongth. Jadi perubahan nama diawali dengan nama wilayah Hujunggaluh (wilayah), kemudian berubah nama menjadi hujung-perak (tempat bertemunya pedagang serta lokasi bongkar-muat kapal), lalu kemudian menjadi Tanjung Perak.
Secara umum wilayah Tanjung Perak di tahun abad 13 merupakan wilayah pertemuan (trade-point) yang dikenal dunia di era keemasan kerajaan Majapahit. Dimana berbagai wilayah kepulauan Nusantara utamanya di Sulawesi, Kalimantan, Bali Nusatenggara hingga ke wilayah Asia Timur, Asia Selatan da Jazirah Arab bertemu dalam konteks perdagangan di wilayah Hujunggaluh yang kemudian menjadi Hujung Perak lalu Tanjung Perak.
"Wilayah Hujunggaluh inilah yang kemudian menjadi cikal bakal timbulnya kota Surabaya (Cura-Bhaya) di abad 13 itu," ungkap Saut.
Berpindahnya lokasi pelabuhan dari Jembatan Merah ke wilayah Hujung-Perak yang merupakan wilayah Tanjung dalam catatan sejarah memang kerena tuntutan perdagangan yang semakin meningkat (baik nilai dan volume barang). Dimana membutuhkan armada kapal yang semakin besar untuk datang dan bersandar ke wilayah Hujungggaluh.
Sebab selama kegiatan perdagangan sekaligus bongkar-muat di wilayah Kalimas (hujunggaluh dulu) kedalaman pelabuhan hanya sekitar atau di bawah 3-4 meter saja. Jadi pola operasi pengangkutan bongkar-muatnya adalah dengan mekanisme kapal-kapal (vessels) yang diperkirakan saat itu memiliki panjang panjang kapal sekitar 40-50 meter (dan draft kapal di atas 5 meter) berhenti di wilayah jauh di alur Selat Madura yang diperkirakan berada di sekitar Sedayu-Gresik (atau dijuluki dengan nama Sulayu di masa Majapahit).
Barang-barang dari kapal tersebut di muat ke perahu-perahu dan tongkang (yang menurut catatan sejarah mungkin adalah keduanya berbahan kayu) untuk kemudian dibawa ke lokasi Hujunggaluh atau Jembatan Merah.
Jadi perpindahan itu merupakan kebutuhan untuk mengakomodasi peningkatan ukuran dan kedalaman konstruksi kapal yang diperkirakan semakin besar, akibat dorongan semakin besarnya volume dan nilai barang yang diangkut. Baik yang menuju atau berasal dari Surabaya ke berbagai pulau Nusantara hingga ke mancanegara.

"Dalam perkembangannya Hujunggaluh tidak ditinggalkan saat dibangunnya Tanjung Perak. Jadi Tanjung Perak dialokasikan untuk melayani proses operasi bongkar-muat kapal-kapal berukuran besar (termasuk menuju ke potensi kapal berbahan baja). Sementara Kalimas menjadi terminal untuk perahu atau kapal tradisional khususnya kapal layar utamanya untuk wilayah Nusantara," paparnya.
Ia menambahkan, awalnya perencanaan pelabuhan Tanjung Perak oleh Ir de Jongth di tahun 1875 dianggap terlalu mahal oleh Pemerintah Belanda saat itu, karena dianggap terlalu panjang mulai dari sekitar Perak hingga ke wilayah Sedayu, Gresik. Akhirnya hanya tertinggal turunan dokumen desain atau besar dari Ir de Jongth.
Lalu, ide Ir de Jongth ini kemudian dijadikan referensi oleh ir WB Van Goor, Prof Kraus, dan GJ de Jong untuk kembali memperbaharui rancangan Ir de Jongth menjadi lebih realistis. Karena rencananya panjang dermaga diperpendek yang tadinya dari Perak ke Sedayu-Gresik, menjadi wilayah sekitar Perak saja. Yaitu terminal Jamrud, Mirah hingga Nilam. Perencanaan baru tersebut dilakukan pada tahun awal 1900.
Kemudian pembangunan bertahap dari Tanjung Perak dimulai di tahun 1910. Meskipun sudah ada pelabuhan Tanjung Perak, kalimas hingga saat ini tetap terpakai mulai sejak awal tahun 1900 hingga sekarang menjadi terminal untuk armada kepulauan tradisional yaitu PLM (perahu layar-motor), yang banyak dikenal dengan tipe Pinisi dengan dua tipe yaitu palari dan lamba (lafal lambo)
"Armada phinisi atau PLM ini masih diakui hingga sekarang oleh pemerintah kita dan disebut dengan armada Pelra atau Pelayaran Rakyat. Dan pemerintah tetap menjaga keberadaan armada ini lewat mempertahankan sejumlah terminal dan dermaga Pelra nasional. Tidak hanya di Kalimas, Perak saja. Namun juga di Sunda Kelapa Jakarta, lalu Paotere di Makassar," ucapnya.