KIGALI – Rwanda memulai sepekan penuh khidmat untuk mengenang dan memperingati hilangnya nyawa sekira 800.000 warga Tutsi dan warga Hutu moderat yang dibunuh dalam genosida 25 tahun lalu.
Presiden Paul Kagame meletakkan karangan bunga di monumen peringatan genosida Gisozi, tempat lebih dari seperempat juta orang dimakamkan, sebelum penyampaian pidato dan pertunjukan lagu yang ditampilkan pada siang harinya. Setelahnya, sebuah acara penyalaan lilin digelar di stadion sepak bola nasional yang penuh sesak.
BACA JUGA: HISTORIPEDIA: Tragedi Pembantaian Rwanda dan Pertikaian Suku Hutu-Tutsi
“Tidak ada cara untuk sepenuhnya memahami kesepian dan kemarahan para penyintas, namun berulang kali kami telah meminta mereka untuk membuat pengorbanan yang diperlukan untuk memberikan kehidupan baru bagi bangsa kita. Emosi harus dimasukkan ke dalam kotak, ” kata Kagame dalam pidatonya sebagaimana dilansir Reuters, Senin (8/4/2019).
“Kami jauh lebih baik daripada orang Rwanda sebelumnya. Tapi kita bisa lebih baik lagi. Kami adalah orang terakhir di dunia yang harus menyerah pada kepuasan. "
Pembantaian selama 100 hari terhadap warga Suku Tutsi dan warga Hutu yang moderat dimulai pada 6 April 1994 setelah Presiden Juvenal Habyarimana dan mitranya Cyprien Ntaryamira dari Burundi - keduanya Hutu - tewas ketika pesawat mereka ditembak jatuh di atas Ibu Kota Rwanda. Pelaku penyerangan tersebut tidak pernah diidentifikasi.
Jatuhnya pesawat Habyarimana segera diikuti oleh pembunuhan ketika tentara pemerintah Hutu dan milisi sekutu ekstremis mulai berusaha untuk memusnahkan minoritas Tutsi. Di desa-desa di negara berpenduduk padat itu, pria, wanita dan anak-anakdibunuh, dibakar hidup-hidup, dipukuli dan ditembak.
Sebanyak 10.000 orang terbunuh setiap hari. Tujuh puluh persen dari populasi minoritas Tutsi dihancurkan, dan lebih dari 10 persen dari total populasi Rwanda.
Pertempuran berakhir pada Juli 1994 ketika RPF, yang dipimpin oleh Kagame, datang dari Uganda dan menguasai negara itu.
Di antara warisan dari genosida tersebut adalah dibentuknya Pengadilan Kriminal Internasional untuk menyelidiki dan menuntut mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan di Rwanda dan selama perang Balkan tahun 1990-an.
BACA JUGA: Gereja Terlibat Genosida Rwanda, Paus Fransiskus Minta Maaf
Pada sore hari, ribuan orang melakukan pawai dari gedung parlemen ke stadion sepak bola nasional. Setelah massa datang, lampu dipadamkan dan stadion yang gelap hanya diterangi oleh lautan lilin yang berkedip-kedip ketika para korban berbicara, memberikan testimoni mereka mengenai peristiwa mengerikan itu.
Di bawah Pemerintahan Kagame, setiap pembicaraan tentang etnis sangat tidak dianjurkan. Pihak oposisi mengatakan kontrol ketat media dan ruang politik juga digunakan untuk meredam perbedaan pendapat. Pihak oposisi memandang cara pemerintah untuk meredam kemungkinan terulangnya sejarah mirip dengan sebuah kediktatoran.
(Rahman Asmardika)