SAYUP-sayup lantunan ayat Alquran terdengar dari sebuah gang kecil di Banguntapan, Yogyakarta. Padahal di gang tersebut tidak terlihat bangunan mushala ataupun langgar, tempat orang biasa mengaji.
Suara tersebut semakin keras terdengar dari bangunan rumah joglo bercat hijau dan putih. Tulisan kecil di salah satu dindingnya terbaca: Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.
Di bulan Ramadan ini, aktivitas di pondok pesantren tersebut kembali menggeliat.
Para santri, yang seluruhnya adalah kaum transgender, terlihat berkumpul di beranda. Mereka belajar ilmu agama dan mengaji, mulai sore sampai menjelang waktu berbuka puasa.
Tidak hanya mereka yang sudah pandai mengaji, para santri yang belum bisa membaca Alquran pun ikut berkumpul, duduk melingkar di dalam pesantren. Mereka bersama-sama membaca Iqra dan hafalan ayat-ayat pendek Alquran.
Ada tiga guru mengaji di pesantren Al-Fatah, Ustaz Arif Nur Safri, Ustaz Idlofi dan Sholihul Amin Al Ma'mun.
"Jadi mulai Ashar-Magrib kami belajar Alquran. Ada yang masih Iqra dan hafalan-hafalan surat pendek, mereka dibimbing teman-teman mahasiswa," kata Ustaz Arif.
Melati Tia, salah satu santri senior di pesantren waria tersebut, terlihat begitu khusyuk membaca juz 16, QS Maryam di hadapan Ustaz Arif. Sesekali, sang guru mengaji membetulkan bacaan Melati.
Tak terasa, Melati telah membaca 25 ayat dari surah Maryam.
"Alhamdulillah, saya membaca surah Maryam ayat 1 sampai 25," kata Melati, sambil mencatat bacaan yang baru saja dia rampungkan.
Usai Melati, santri-santri lain bergantian membaca Al-Quran di depan Ustaz Arif, termasuk juga Shinta Ratri, pemimpin Pondok Pesantren Waria Al Fatah.
"Ramadan ini, alhamdulillah, kami bisa mengaji dan beribadah secara nyaman dan khusuk," katanya, kepada Yaya Ulya, wartawan di Yogyakarta yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ucapan Shinta tersebut merujuk pada kejadian tahun 2016, saat pesantren tersebut ditutup oleh aparat pemerintah setempat karena dianggap tidak berizin dan meresahkan warga setempat.
Waktu itu, Camat Banguntapan, Jati Bayubroto, menyebut bahwa pesantren itu ditutup karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islami. "Pernah didapati ada miras dan itu menjadi salah satu alasan keberatan warga," sebutnya.
Penutupan tersebut sempat dipertanyakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, yang menilai hal itu sebagai bentuk penghakiman secara sepihak.
Perlahan bangkit
Sejak ditutup pada 2016, pondok pesantren Al-Fatah perlahan bangkit. Mereka kembali memulai seperti awalnya pesantren tersebut didirikan, dengan menggelar pengajian setiap minggu.
Kini, tidak hanya pengajian, pesantren tersebut juga menyediakan pelatihan keterampilan bagi para waria, terutama yang berprofesi sebagai pekerja seks, untuk memperbaiki kesejahteraan mereka.
Pesantren tersebut berawal ketika waria di Yogyakarta mengadakan pengajian untuk mendoakan korban gempa bumi tahun 2006. Pengajian tersebut berlanjut menjadi pengajian rutin setiap minggu, sehingga berdirilah pesantren Al-Fatah.
Saat itu, lokasinya berada di Notoyudan, Kota Yogyakarta. Maryani, pendiri pesantren, berpandangan bahwa hak beragama adalah milik setiap manusia, termasuk waria.
Setelah Maryani meninggal dunia pada 2014, ponpes ini sempat vakum. Atas kesepakatan bersama, Shinta Ratri meneruskan keberadaan pesantren tersebut dan memindah lokasinya ke rumahnya di Banguntapan, Bantul, DIY.
Para santri pun bisa kembali melanjutkan belajar membaca Alquran dan memperbanyak ibadah.