JAKARTA – Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Profesor Adrianus Meliala, menilai kasus polisi tembak polisi di Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, sebagai persoalan pribadi seorang polisi yang tidak punya kontrol diri dan tidak matang.
"Kejadian ini bisa terjadi bila pelaku kemungkinan tidak punya kontrol diri yang kuat dan kematangan pribadi yang tidak kuat," kata Adrianus saat dikonfirmasi, Jumat 26 Juli 2019, seperti dikutip dari Antaranews.
Baca juga: Penembakan Polisi, Komisi III: Pembinaan Rutin Harus Dilakukan
Pakar kriminologi ini mengatakan melihat kasus tersebut dari sudut pandang individual seorang anggota polisi, jangan dilihat dari sisi institusi Polri. sebab, lanjut Adrianus, sebagai individu, anggota polisi dalam hubungan kerja bisa memiliki konflik dengan sesama individu lainnya.
"Konflik yang begitu tajam bisa menimbulkan emosi dan itu menjadi mungkin karena polisi juga manusia, bisa marah, bisa kesal," terangnya.
Hal yang menjadi permasalahan, lanjut dia, pelaku Brigadir Rangga Tianto sebagai individu yang memiliki akses terhadap senjata api. Sehingga ketika kontrol diri dan kepribadiannya tidak kuat jadi kebablasan menggunakan senjata tajam untuk memuaskan egonya.
Ia mengatakan, berbeda dengan orang awam, apabila emosi hanya bisa melampiaskan dengan cara meninju meja atau tembok.
Baca juga: Senpi yang Digunakan Brigadir Rangga Tembak Bripka Rahmat Jenis HS-9 Milik Polairud
Mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini mengatakan ada kemungkinan pelaku tidak marah dengan rekan sejawatnya hingga melayangkan tembakan, tetapi karena ada persoalan di dalam dirinya.
Menurut Adrianus, pelaku kemungkinan sudah janji kepada orangtua anak pelaku tawuran yang ditangkap atau kepada masyarakat bahwa dia akan membereskan kasus tersebut.
"Jadi dia dengan amat bangga menjamin kepada orangtua pelaku tawuran ini bahwa dia bisa kok menghandel masalahnya bisa buat anaknya bebas kembali, sambil membawa orangtuanya ke kantor polisi," katanya.
"Tapi ternyata pelaku ketemu dengan atasannya (Bripka Rahmat Effendy) yang dengan gampangnya mengatakan tidak bisa dengan alasan sedang diproses," katanya.
Dalam situasi itu, lanjut Adrianus, bisa dibayangkan pelaku malu atau bahkan jatuh harga dirinya di depan masyarakat yang sudah dijanjikan anaknya akan bebas.
Kondisi ini bila dihadapi oleh orang yang berkepribadian yang kuat maka akan menyampaikan kepada orangtua pelaku tawuran bahwa sistem tidak membolehkan karena harus diproses, meskipun dia sudah berjanji.
"Itu cara orang yang berkepribadian kuat, tapi pelaku ini (Brigadir RT) mengikuti marahnya, egonya," kata Adrianus.
Baca juga: Penerbitan Izin Senjata Brigadir Rangga Akan Ditinjau Ulang
Menurut dia, ada dua tipe orang, ada yang memiliki kepribadian tidak kuat tapi kontrol terhadap dirinya kuat sehingga ketika terjadi persoalan seperti di atas, maka masalahnya akan dipendam dan diam saja.
Tapi berbeda dengan pelaku yang tidak punya kontrol diri yang kuat dan pribadi yang tidak kuat pula.
"Kalau pelaku dia pribadinya tidak kuat, malu dia, lalu dilarikan menggunakan senjata api secara menyimpang ya udah bablas," kata anggota Ombudsman RI ini.
Oleh karena itu, Adrianus memandang kasus tersebut dari kaca mata individual bukan organisasi Polri. "Karena sebagai organisasi, Polri tidak pernah menyuruh anggota begitu-begituan," katanya.
Baca juga: Brigadir Rangga Tembak Bripka Rahmat dari Jarak Dekat
Adrianus menyebutkan sebagai organisasi, Polri sudah melakukan cara-cara untuk mencegah hal seperti itu tidak terjadi, dengan melakukan penyeleksian di awal, melakukan tes perihal siapa yang boleh dan tidak boleh pegang senjata, memberi pelatihan kepada yang memegang senjata, melakukan penyaringan ketat dan secara mendadak.
"Sehingga, dapat dipastikan orang yang memegang senjata adalah orang yang memiliki kontrol diri, artinya pada tingkat organisasi tidak ada masalah, tapi kalau di tingkat individu ada saja masalah yang menyimpang," katanya.
(Hantoro)