Konflik politik yang meluas jadi kerusuhan massal ini dikenal dengan Peristiwa 27 Juli (Kudatuli). Banyak korban bergelimpangan dalam peristiwa tersebut dan menjadi sejarah kelam perjalanan demokrasi di tanah air. Singkat cerita, PDI terbelah dua, yakni pimpinan Megawati dan Soerjadi.
Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam pada Pemilu 1997. Pasalnya sebagian massa pendukung PDI yang pro Megawati mengalihkan dukungannya ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peristiwa ini kemudian melahirkan istilah “Mega Bintang.” Dan, Mega kala itu memilih golput.
Pada perjalanannya PDI pimpinan Megawati berubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Saat kondisi sudah stabil di bawah kendalinya, PDIP berhasil meraup suara signifikan pada Pemilu 1999 atau era reformasi.
Para pendukungnya meminta Megawati menjadi Presiden, tetapi sidang istimewa MPR pada 1999 memenangkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Setelahnya, tepatnya pada 2001, sidang istimewa mengangkat Megawati menjadi Presiden untuk menggantikan Gus Dur yang dicabut mandatnya.
Di bawah kepemimpinan Megawati konsolidasi demokrasi di Indonesia terus berjalan. Buktinya, pada 2004, Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung. Aspek langsung ini mengindikasikan terbukanya kran demokratisasi yang lebih luas.
Namun sayang, pada Pemilu 2004, Megawati yang mencalonkan kembali sebagai Presiden berpasangan dengan Hasyim Muzadi berhasil dikalahkan oleh duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Begitu juga pada 2009, Megawati yang kembali maju bersama Prabowo Subianto berhasil dikalahkan lagi oleh duet SBY-Boediono.
Dalam kondisi itulah Megawati harus menelan pil pahit menjadi oposisi selama dua periode atau 10 tahun. Setelah itu, pada Pemilu 2014, Megawati berjasa dalam memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kemudian, pada Pemilu 2019 lalu, Megawati juga kembali mencalonkan Jokowi dan KH Ma’ruf Amin dan memenangkan kontestasi.