Tugas Berat Pengintai Musuh
Dengan terbata-bata, Mbah Semprong menceritakan kisah perjuangannya bisa menjadi mata-mata Indonesia di masa penjajahan Belanda. Saat Ditemui dirumahnya di kawasan Jebres, Solo, ia mengisahkan pengalamannya menjadi mata-mata yang penuh risiko, karena bila ketahuan sudah pasti akan ditembak mati.
Selain dirinya, dia mengaku punya teman yang juga mata-mata. AKan tetapi, justru sebagai spionase musuh. Tidak sedikit dari orang Indonesia yang menjadi antek-antek Belanda. Mudah mencirikannya, yakni setiap antek Belanda selalu membawa cermin yang digenggamannya.
“Fungsinya saya memberi kode ke pasukan Belanda dengan cara mematulkan sinar dan pesawatpun melakukan pemboman di wilayah tersebut,” ujarnya.
Sedangkan mbah Semprong sendiri bertugas sebagai mata-mata untuk Indonesia. Bahkan pernah dia ditawarkan menjadi mata-mata Belanda dengan bayaran tinggi, dengan tegas dan keras dia menolaknya. “Lebih baik mati terhormat daripada hidup jadi pengkhianat,” tuturnya semangat.
Setelah perang kemerdekaan, hidupnya tidak seberuntung pejuang lainnya. Dia menjadi salah satu pejuang yang merasakan dampak ekonomi ketika peristiwa G 30S PKI.
“Setelah kemerdekaan, saat itu ada pekerjaan bagus di Jakarta. Tapi karena pecah pemberontakan PKI, semua proyek berhenti dan saya menganggur. Saat itu saya putuskan kembali ke Solo,”
Di Solo pun Mbak Semprong masih beruntung sebenarnya, dia masih bisa bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), namun karena gaji pegawai negeri sipil (PNS) saat itu kecil, akhirnya ia banting setir ke dunia usaha.
Dimulai pada tahun 1970an, pak Min sebutan lain Mbah Semprong mulai menekuni usaha berjualan lampu semprong, dan karena usahanya ini pak Min dijuluki Mbah Semprong hingga sekarang.
Usaha lampu semprong berjalan 10 tahun, namun seiring perkembangan zaman, lampu semprong mulai meredup tergantikan dengan lampu PLN. Pak Min memutuskan untuk narik Becak dan berjualan mainan hasil buatan sendiri hingga kini.
(Amril Amarullah (Okezone))