ADA ingatan yang pudar saat mengurai demokrasi di Indonesia. Demokrasi lambat laun tercerabut dari makna awalnya. Ia kini hanya dikaitkan dengan salah satu aspek, yakni politik, sehingga tiap kata demokrasi orang hanya membayangkan politik. Padahal ada aspek lain yang justru menjadi pembeda demokrasi di Indonesia, yakni ekonomi. Tepatnya “demokrasi ekonomi”.
Founding father Republik Indonesia menyadari bahwa demokrasi politik saja tidak bisa menyejahterakan rakyat. Presiden pertama Ir. Soekarno –mengutip Fritz Adler– mengatakan, “men kan de honger van een bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand stoppen” (orang tidak bisa menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis dengan hanya memberikan padanya Undang-Undang Dasar). Demokrasi yang Indonesia cari, simpul Putra Sang Fajar, bukanlah demokrasi Barat melainkan permusyawaratan berupa politiek economische democratie (demokrasi ekonomi politik). Hanya demokrasi ini yang menurutnya mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Karena itu, dalam rumusan Pancasila sebagai philosopsiche groondslag (landasan filosofis) bangsa Indonesia, para pendiri bangsa memetakan dua demokrasi tersebut ke dalam dua sila yang berbeda. Demokrasi politik tertuang pada sila keempat Pancasila sebagai, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sementara demokrasi ekonomi diamanatkan pada sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pengawal Demokrasi Ekonomi
Hubungan antara keduanya tentu tidak terpisahkan. Sila-sila Pancasila adalah satu kesatuan utuh, di mana satu sila adalah lanjutan penyempurnaan dari sila-sila sebelumnya. Sehingga sila terakhir Pancasila adalah tujuan akhir penyempurna dari sila pertama sampai keempat. Sebab itu, dalam Preambule Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), sila kelima adalah satu-satunya sila yang penulisannya didahului dengan penegasan kata kerja aktif “mewujudkan”. Penggalan akhir Preambule berbunyi, “… serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Komitmen mengawal demokrasi ekonomi inilah yang menjadi ruh lahirnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU memang baru terbentuk setelah reformasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No 5/1999). Tetapi spirit yang diperjuangkan KPPU sesungguhnya jauh sebelum masa reformasi, yakni mengawal demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima Pancasila.
Ketuhanan dalam bentuk kebebasan menjalankan ibadah, kemanusiaan sebagai dasar hubungan internasional, persatuan yang terwujud dalam nasionalisme, dan kerakyatan berupa demokrasi politik –yang kesemuanya adalah sila pertama sampai sila keempat Pancasila– sudah menunjukkan kemajuan signifikan. Tetapi kesejahteraan sosial yang menjadi orientasi sila kelima masih sangat tertinggal. Mengejar ketertinggalan melalui pengawasan persaingan usaha inilah yang menjadi komitmen KPPU.