Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menengok Kantor 7 Presiden Indonesia di Istana

Solopos.com , Jurnalis-Selasa, 17 Agustus 2021 |06:10 WIB
Menengok Kantor 7 Presiden Indonesia di Istana
Ilustrasi (Foto: Antara)
A
A
A

Kala itu Yogyakarta daerah aman. Kekuatan militer sekutu dan Jepang sudah pergi dan NICA belum masuk. Presiden Soekarno untuk kali pertamanya mendapat akomodasi yang memadai sebagai kepala negara, yakni Gedung Agung, yang terletak di ujung Malioboro.

Gedung Agung pun resmi menjadi kantor sekaligus kediaman bagi Presiden Soekarno bersama keluarga. Bangunan ini sudah cukup layak bagi seorang kepala negara untuk memimpin pemerintahan. Gedung bekas kediaman resmi Residen Yogyakarta itu selesai dibangun tahun 1832. Di tempat lain, banyak bangunan serupa dan biasa disebut keresidenan.

Dari Yogyakarta, pelaksanaan administrasi pemerintahan bisa digelar lebih teratur. Sejumlah kementerian beroperasi dari bangunan lain peninggalan Belanda, yang ada di sekitar Malioboro dan Kota Baru.

Namun, tekanan politik dan militer NICA tak kunjung berhenti. Bahkan, pada 20 Juli 1945, pasukan NICA menyerang kota-kota republik di Sumatera dan Jawa, yakni di Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Serangan yang disebut sebagai Agresi I itu bertujuan menguasai perkebunan dan pertambangan yang sebelumnya dioperasikan Hindia-Belanda. Ibu Kota RI mulai terancam. Kekuatan militar NICA hanya berjarak sekitar 110-120 km saja di front barat dan utara.

Baca juga: Kukuhkan Paskibraka DKI, Anies Sampaikan Pesan Perjuangan

Serangan berikutnya (Agresi II) terjadi di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Dalam selang sehari, Yogyakarta jatuh ke tangan NICA. Para pemimpin republik, mulai dari Bung Karno, M. Hatta, Agus Salim, Syahrir, ditangkap dan diasingkan.

Sebagian diboyong ke Pangkalpinang dan Muntok, Pulau Bangka, sebagian Parapat dan Brastagi, Toba, di Sumatera Utara. Sempat beberapa hari di Parapat, namun kemudian Bung Karno bersama H. Agus Salim dibawa ke Bangka.

Sebelum ditangkap pasukan Belanda, Bung Karno sempat membuat surat kawat ditujukan ke A.A. Maramis, yang sedang berada India, dan Menteri Perdagangan RI Syafruddin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat.

Surat kawat itu sendiri terlambat sampainya. Tapi, Syafruddin Prawiranegara, bersama Gubernur Sumatera TM Hassan, Kolonel Hidayat selaku Komandan TNI Teritorium Sumatera ketika itu, dan sejumlah tokoh lain, berinisiatif membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI). PDRI dideklarasikan pada 22 Desember di Halaban, Payakumbuh, namun kemudian “kantornya” berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya demi menghindari serbuan tentara NICA.

Baca juga: Covid Mengganas, Istana Presiden Work From Home 75 Persen

Dengan modal pemancar radio, Syafruddin terus berpidato bahwa Republik Indonesia masih eksis dan NICA hanya menguasai kota-kota di Indonesia.

Atas desakan dunia internasional, terutama Amerika Serikat, Belanda pun bersedia kembali ke meja perundingan. Memasuki bulan Juni, Belanda yang makin terpojok bersedia melakukan perundingan damai.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement