 
                DEMAK, sebelumnya adalah sebuah daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit.
Penamaan Demak berawal dari kisah Raden Patah diperintahkan oleh gurunya, Sunan Ampel dari Surabaya, agar merantau ke barat dan bermukim di sebuah tempat yang terlindung oleh tanaman gelagah wangi. Tanaman gelagah yang rimbun tentu hanya subur di daerah rawa-rawa.
Baca juga: Kisah Bayi Aryo Penangsang Dihanyutkan di Sungai dan Ususnya Dikalungkan di Keris
Dalam perantauannya itu, Raden Patah sampai ke daerah rawa di tepi selatan Pulau Muryo (Muria), sebuah kawasan rawa-rawa besar yang menutup laut (atau lebih tepatnya sebuah selat) yang memisahkan Pulau Muryo dengan daratan Jawa Tengah. Di situlah ditemukan gelagah wangi dan rawa; kemudian tempat tersebut dinamai Raden Patah sebagai “Demak".
Menurut Slamet Muljana (2005), Raden Patah diangkat sebagai bupati oleh Prabu Brawijaya dan Gelagah Wangi diganti namanya dengan “Demak” dengan ibu kota bernama “Bintara.” Dari nama wilayah baru itulah Raden Patah kemudian dikenal sebagai Pangeran Bintara di kaki Gunung Muria.
Baca juga: Kisah " Lawang Bledeg" Masjid Demak, Relief Petir Tangkapan Ki Ageng Selo
Setelah merasa kuat karena memiliki daerah yang strategis dan mempunyai dukungan baik dari Walisongo dan kerajaankerajaan Islam di Jawa, maka para wali memerintahkan agar Raden Patah menjadikan Demak sebagai kerajaan Islam dan memisahkan diri dari kerajaan Majapahit. Seperti dilansir dari buku "Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia, Binuko Amarseto".
Tekad untuk mendirikan kerajaan Demak yang merdeka menjadi semakin bulat mengingat daerah Demak mempunyai peluang untuk berkembang pesat menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Raden Patah kemudian mengumpulkan para pengikutnya, baik dari masyarakat Jawa maupun Cina, untuk melakukan perlawanan terhadap kerajaan Majapahit.